Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi atau Arifah Fauzi, menyampaikan bahwa sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat sebanyak 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Mayoritas kasus tersebut berupa kekerasan seksual.
Pernyataan ini disampaikan Arifah yang juga Ketua PP Muslimat NU dalam acara Istighosah Kubro memperingati Harlah ke-79 Muslimat NU dan Tahun Baru Islam 1447 H di Pati pada Minggu (29/6/2025). Acara tersebut juga dihadiri oleh Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur sekaligus Ketua Umum Dewan Pembina PP Muslimat NU.
Dalam sambutannya, Arifah menyoroti data dari berbagai survei nasional. Survei tahun 2024 menunjukkan satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan. Sementara itu, satu dari dua anak Indonesia juga pernah menjadi korban kekerasan.
Berdasarkan data dari aplikasi Simponi milik Kementerian PPPA, hingga 12 Juni 2025 tercatat 11.850 kasus. Dalam waktu hanya 16 hari berikutnya, yakni hingga 28 Juni, angka itu meningkat 1.505 kasus sehingga totalnya menjadi 13.845 kasus.
“28 Juni 2025 hanya 16 hari nambah 1.505 kasus. Jadi dari Januari sampai 28 Juni 2025 ini sudah tercatat sebanyak 13.845 kasus,” ungkap dia dilansir infoJateng, Senin (30/6/2025).
Ia mengungkapkan, kasus kekerasan seksual menjadi yang paling dominan, dan yang mengejutkan, pelaku kerap kali merupakan orang tua atau anggota keluarga dekat. Salah satu contoh yang disampaikan Arifah adalah kasus anak berusia 2,5 tahun yang mengalami kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri. Setelah menjalani proses selama empat bulan, terungkap bahwa sang ayah adalah pelaku.
“Jadi waktu datang ke sana. Saya bawa psikolog saya agak curiga karena si ayahnya ini nunduk terus nggak berani pandang orang lain. Saya bilang sama psikolognya ada sesuatu dengan si ayahnya karena selalu nunduk dan tidak mau mandang kita. Setelah 4 bulan proses ternyata memang pelaku adalah ayah kandungnya,” terang dia.
Ia juga menyebut ada kasus anak SD berusia 12 tahun yang tengah hamil enam bulan akibat tindakan ayahnya sendiri. Masyarakat setempat pun mendorong agar pelaku diproses secara hukum.
“Terakhir informasi yang saya dapat anak umur 12 tahun ujian SD itu dalam kondisi hamil enam bulan. Masyarakat sudah marah dan akan mengambil si ayah untuk diproses secara hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Arifah juga mengangkat isu lain yang turut memicu kekerasan, yakni penggunaan teknologi oleh anak-anak. Berdasarkan data BPS, 33,44% anak usia 0-6 tahun sudah menggunakan ponsel, dan 52,76% anak usia 5-6 tahun telah mengakses internet. Ia menilai salah satu akar masalahnya terletak pada pola pengasuhan dalam keluarga.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya kolaborasi antarinstansi, ormas, dan pihak terkait. Sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, tidak ada kementerian yang bekerja sendiri dalam menangani isu ini. Arifah berharap sinergi bersama, termasuk dengan Muslimat NU dan organisasi lainnya, dapat memberikan pendampingan dan solusi yang efektif.
“Kami merasa bahwa harus bersinergi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi dari masyarakat kita. Salah satunya dengan Muslimat NU dalam melakukan pendampingan. Ini juga kan kita lakukan dengan ormas lainnya. Dengan bergandengan tangan untuk menyelesaikan persoalan mudah-mudahan kita bisa menjawab dan memberikan solusi terbaik,” ungkap dia.