Kantor Imigrasi Banda Aceh mendeportasi 33 warga negara asing (WNA) sepanjang tahun ini. Dua orang diproses hukuman penjara.
Kepala Kantor Imigrasi Banda Aceh Gindo Ginting mengatakan, WNA diamankan di wilayah kerja Imigrasi Banda Aceh berasal dari berbagai negara di antaranya Malaysia, Pakistan, India hingga Korea. Mereka yang dideportasi kebanyakan karena melebihi izin tinggal (over stay).
“Untuk kurun waktu tahun 2025 ini ada warga negara asing di wilayah kerja kami yang sudah dikenakan proses hukum keimigrasian sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.6 2011 ada dua konsekuensi hukum. Pertama tindakan administrasi keimigrasian atau deportasi di wilayah kerja kami WNA tersebut yang sudah deportasi sebanyak 33 orang,” kata Gindo kepada wartawan, Senin (3/11/2025).
Selain over stay ada juga WNA yang sudah menjalani hukuman penjara sehingga akan dideportasi ke negaranya. Proses pendeportasian dilakukan setelah berkoordinasi dengan kedutaan serta Direktorat Jenderal Imigrasi.
Gindo menjelaskan, ada dua WNA yang diproses hukum di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Keduanya warga Pakistan ditangkap dalam waktu berbeda karena menjual kaligrafi di Banda Aceh.
Keduanya disebut menyalahi izin tinggal. Satu WNA Fazal Abbas divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 5 juta. Sementara Muhammad Azeem masih menjalani persidangan.
Terbaru, Kantor Imigrasi Banda Aceh mengamankan seorang WN Pakistan saat bekerja di Indian Coffee House Aceh di kawasan Lambhuk, Banda Aceh, Rabu (22/10). MB saat ini ditempatkan di ruang detensi Kantor Imigrasi Banda Aceh.
“Berdasarkan hasil wawancara, MB diketahui tinggal dan beraktivitas di kafe Indian Coffee House Aceh dan bekerja secara langsung sebagai pembuat roti khas Asia Selatan di kafe tersebut sejak September 2025, dengan memperoleh upah sebesar Rp 2.000.000 per bulan,” ujar Gindo.
MB disebut mengantongi izin tinggal terbatas (ITAS) dengan indeks visa tinggal terbatas E33G yang artinya untuk bekerja jarak jauh (remote worker).
Gindo menyebutkan, ITAS yang diterbitkan oleh Kanimsus Jakarta Barat pada 7 Maret lalu itu seharusnya hanya diperuntukkan bagi pekerjaan jarak jauh secara online untuk perusahaan di luar Indonesia. Kegiatan yang dilakukan MB dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian ITAS.
“Kami tegaskan bahwa ITAS untuk remote worker hanya diperuntukkan bagi WNA yang bekerja jarak jauh secara online untuk perusahaan di luar negeri. Izin ini tidak dapat digunakan untuk pekerjaan fisik, apalagi mencari nafkah di kafe atau tempat usaha di Indonesia,” jelas Gindo.
Gindo menjelaskan, tindakan MB ini diduga melanggar Pasal 122 huruf (a) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dalam kasus ini, imigrasi menyita barang bukti berupa paspor asli dan fotokopi ITAS MB.







