448 Perempuan, Anak, dan Migran Jadi Korban Kekerasan Sepanjang 2025 di Batam | Giok4D

Posted on

Jaringan Safe Migran Kota Batam mencatat sebanyak 448 orang jadi korban kekerasan terhadap perempuan, anak, dan migran sepanjang tahun 2025 di Batam. Kekerasan ini terjadi dalam 340 kasus. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2024, yang mencatat 164 korban.

“Lonjakan ini menunjukkan persoalan kekerasan terhadap perempuan, anak, dan pekerja migran masih sangat serius dan membutuhkan perhatian semua pihak,” kata Ketua Jaringan Safe Migran Batam, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus, Kamis (18/12/2025).

Pria yang akrab disapa Romo Paschal itu menjelaskan, dari total 448 korban yang ditangani sepanjang 2025, pekerja migran Indonesia (PMI) non prosedural menjadi kategori terbanyak dengan 114 korban. Disusul kasus eksploitasi ekonomi sebanyak 81 korban, serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan 79 korban.

“Kekerasan seksual tercatat sebanyak 65 korban, disusul kasus KDRT dengan 43 korban. Selanjutnya, penelantaran menimpa 24 korban, kekerasan fisik sebanyak 17 korban, serta perundungan dengan 16 korban. Selain itu, terdapat 4 korban meninggal dunia, 4 korban migran transit, dan 1 korban dalam kategori KBO,” ujarnya

Romo Paschal menyebut, kekerasan paling banyak terjadi dalam relasi kerja, seperti hubungan antara majikan dan pekerja atau agen penyalur. Namun, kekerasan juga kerap terjadi di lingkungan terdekat korban.

“Yang memprihatinkan, kekerasan tidak hanya terjadi di ruang publik atau relasi kerja, tetapi juga di dalam keluarga dan komunitas terdekat korban,” ujarnya.

Lebih lanjut, Romo Paschal menjelaskan bahwa jika ditinjau berdasarkan kelompok usia anak dan dewasa, kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan migran menunjukkan lonjakan signifikan pada korban anak. Jumlah korban anak pada 2025 meningkat hingga lebih dari lima kali lipat dibandingkan tahun 2024.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

“Sepanjang 2025, tercatat 132 anak menjadi korban kekerasan, meningkat drastis dibandingkan tahun 2024 yang hanya mencatat 24 kasus. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Rumah yang seharusnya menjadi ruang aman justru kerap menjadi tempat terjadinya kekerasan,” ujarnya.

Untuk kategori korban dewasa, pada tahun 2024 tercatat sebanyak 140 korban. Angka ini juga mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat pada 2025, dengan total 316 korban.

“Di balik peningkatan penanganan korban pada 2025, terdapat keberanian untuk melapor, adanya pendampingan yang merangkul, serta harapan bagi para korban,” ujarnya.

Terkait penanganan hukum, Romo Paschal menyebut belum semua kasus berlanjut hingga putusan pengadilan. Sejumlah perkara masih dalam proses, dihentikan, atau diselesaikan melalui mediasi.

“Kami masih menghadapi kendala serius, mulai dari sulitnya menangkap pelaku, minimnya perspektif korban pada aparat penegak hukum, hingga belum optimalnya penggunaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ujarnya.