Bocah kelas 6 SD di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), AI membunuh ibu kandungnya F (42). Pelaku melakukan aksinya karena terobsesi dari game online dan serial anime.
Kini, bocah tersebut berstatus sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan saat ini berada di rumah aman. Pihak kepolisian bekerja sama dengan psikolog dan dinas terkait dalam pemulihan psikologisnya, termasuk juga memberikan kebutuhan pendidikan kepada AI.
Berikut infoSumut rangkum fakta terbaru terkait kejadian tersebut:
Kapolrestabes Medan Kombes Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan peristiwa itu terjadi pada Rabu (10/12) sekira pukul 04.00 WIB. Saat kejadian, korban tidur bersama dengan dua anaknya, yakni AI dan kakak AI, di kamar lantai 1. Sementara suami korban tidur di lantai 2.
Calvijn menjelaskan bahwa hubungan korban dan suaminya sudah lama tidak harmonis, sehingga keduanya tidur secara terpisah.
“Kemudian (keterangan) dari rekan kerja bapaknya (suami korban), memang diketahui bahwa korban, kakak, adik (AI) bersama dengan bapaknya masih tinggal satu rumah. Namun, hubungan antara bapak dan istrinya itu kurang harmonis,” kata Calvijn saat konferensi pers, Senin (29/12).
Calvijn menjelaskan bahwa korban, AI dan kakaknya tidur di kasur bertingkat. Posisinya korban dan AI tidur di kasur yang sama, sedangkan kakak AI di bawah.
Sekira pukul 04.00 WIB, AI tiba-tiba terbangun dan memandangi ibunya yang tengah tidur di sampingnya. Di situlah muncul amarah AI dan niat untuk melukai ibunya.
Sebelumnya, AI juga sudah sempat berpikir untuk melukai ibunya pada 22 November 2025. Hal ini dipicu karena korban memukuli kakak AI hingga memar.
Alhasil, pada saat kejadian, AI terbangun dan sempat mencuci mukanya. Lalu, AI pergi mengambil pisau di dapur untuk melukai korban. Saat itu, AI sempat membuka bajunya agar tidak terkena noda darah korban.
“Adik (AI) memandangi korban yang tidur di sampingnya semakin menimbulkan rasa marah. Adik mengambil pisau, membuka bajunya, dan melukai korban. Ditanyakan kepada adik, kenapa baju dibuka? (kata AI) dengan alasan supaya tidak terkena apabila ada perlukaan-perlukaan yang ada menodai bajunya,” jelasnya.
Saat melukai ibunya itu, kakak AI terbangun karena tubuh korban menimpa dirinya. Pada saat itu, barulah kakak AI melihat AI tengah menusuk ibunya menggunakan pisau.
Kakak AI pun berupaya merampas pisau tersebut dan membuangnya hingga terlepas dari tangan AI. Setelah itu, AI kembali mengambil pisau kecil yang berada di dapur dan hendak melukai ibunya lagi. Kakak AI pun berusaha menutup pintu kamar agar AI tidak bisa masuk.
“Jadi, pada saat adik keluar kamar, mengarah ke arah dapur dan ingin masuk kembali menggunakan pisau kedua, terjadi tarik-menarik dengan kakak sehingga pisaunya terjatuh,” jelasnya.
Setelah kejadian itu, AI sempat melukai ibunya lagi. Sementara kakak AI lari menuju lantai dua untuk membangunkan ayahnya dan memberitahu ayahnya bahwa AI melukai ibunya. Setelah menggedor-gedor pintu, keduanya turun ke lantai 1 untuk mengecek kondisi korban.
Saat ditemukan oleh suaminya, korban masih dalam keadaan hidup. Kemudian, kakak AI dan ayahnya berupaya menyandarkan korban ke lemari. Korban juga sempat meminta minum dan diberikan oleh kakak AI. Pada saat yang bersamaan, suami korban menghubungi rumah sakit dan baru tiba sekira pukul 05.40 WIB.
“Ambulans dari rumah sakit tersebut datang dan memeriksa korban, ternyata korban sudah meninggal dunia,” ujarnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter RS Bhayangkara Medan, korban F mengalami sebanyak 26 luka tusuk. Ada dua pisau yang digunakan AI saat kejadian.
“Dari hasil pemeriksaan forensik RS Bhayangkara, terdapat 26 luku tusuk pada korban,” kata dr Altika dari RS Bhayangkara Medan.
Calvijn menjelaskan bahwa selama ini, korban sering memarahi keluarganya dan mengancamnya menggunakan pisau. Selain itu, korban juga sering memarahi kakak AI serta memukulnya menggunakan sapu dan tali pinggang.
Bahkan, AI juga sering dimarahi dan dicubit oleh korban. Sebelum pembunuhan itu, AI sudah sempat berpikir untuk melukai korban.
“Nah, di sini menjelaskan apa yang menjadi motivasi si adik melakukan tindak pidana tersebut. Pertama, melihat kekerasan yang dilakukan korban terhadap kakak, adik, dan bapaknya yang diancam menggunakan pisau. Ini dilihat oleh si adik. Kemudian, adik melihat kakaknya yang dipukuli oleh korban menggunakan sapu dan tali pinggang. Lalu, si korban sakit hati karena game online-nya dihapus,” jelasnya .
AI melakukan perbuatan itu terobsesi dari game online dan serial anime detektif conan (DC). Calvijn Simanjuntak mengatakan AI menggunakan pisau untuk melukai ibunya karena melihat game online Murder Mystery.
“Bagaimana obsesi si korban dalam hal melakukan tindak pidananya? adik (AI) melihat game Murder Mystery pada season kills others menggunakan pisau. Makanya korban pada saat itu menggunakan pisau di dalam melakukan tindak pidananya. (AI) menonton serial anime DC pada saat adegan pembunuhan menggunakan pisau,” jelas Calvijn.
Laboratorium Forensik (Labfor) memeriksa DNA pisau dan ceceran darah dalam kasus tersebut. Hasilnya, tidak ditemukan DNA yang mengarah ke suami korban atau ayah AI.
“Itu sudah kita periksa DNA-nya dan tidak ada mengarah ke si bapak,” kata Kasubbid Kimia Biologi Bid Labfor Polda Sumut AKBP Hendri Ginting saat konferensi pers di Polrestabes Medan.
Hendri mengatakan pihaknya telah mengecek DNA di pisau dan juga ceceran darah di rumah tersebut. Selain DNA AI, pada pisau yang digunakan AI untuk melukai ibunya itu terdapat DNA korban. Pasalnya, pisau tersebut merupakan pisau dapur yang sering digunakan korban.
Selain itu, di pisau itu juga ada DNA kakak AI. Sebab, saat kejadian, kakak AI sempat berupaya merampas pisau tersebut dari AI. Lalu, darah yang berceceran dari lantai 1 hingga lantai 2 adalah darah kakak AI saat hendak memanggil ayahnya.
Psikolog forensik Irna Minauli mengatakan bahwa AI memiliki kecerdasan yang luar biasa. Bahkan, AI kerap meraih prestasi.
Irna mengatakan pihaknya juga telah menganalisis kondisi mental AI. Hasilnya, tidak ditemukan adanya gangguan mental pada AI.
Selain itu, psikolog juga menganalisis soal kemungkinan adanya gangguan perilaku atau conduct disorder pada AI. Gangguan perilaku ini, kata Irna, jika tidak cepat ditangani, maka ada kemungkinan anak menjadi psikopat. Namun, dari hasil pemeriksaan kepada AI, juga tidak ditemukan gangguan perilaku tersebut.
“Tetapi dalam konteks ini, gangguan perilaku atau conduct disorder juga tidak nampak. Misalnya tidak dijumpai bahwa anak conduct disorder itu sering mereka melanggar aturan. Mereka juga sering melukai binatang atau properti, ya, barang-barang. Itu juga tidak dijumpai pada anak (AI),” jelasnya.
Irna menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan AI, bukan terjadi karena AI mengalami gangguan mental. Namun, hal itu dipicu beberapa hal, seperti pengalaman kekerasan yang dialaminya.
“Jadi, kalau dilihat kemungkinan terjadinya peristiwa ini, bukan karena adanya gangguan kesehatan mental. Jadi, lebih ke arah, misalnya, pengalaman kekerasan yang dialami yang dia saksikan. Kekerasan-kekerasan itu bukan hanya dari keluarga, tapi juga mungkin dari tontonan yang dia lihat. Kemudian juga adanya emosi yang masih labil, sehingga dia cenderung memendam kemarahannya, sehingga akhirnya menjadi satu tindakan yang emotional outburst (ledakan). Jadi, meledak-ledak, tidak terkendali,” sebutnya.
Irna mengatakan bahwa kakak AI memang lebih sering mendapatkan tindakan kekerasan dari korban. Namun, AI juga merasa sakit hati dengan perlakuan ibunya kepada kakaknya.
Pasalnya, AI memiliki hubungan kedekatan dengan kakaknya. Alhasil, AI akan marah jika ada yang menyakiti kakaknya.
“Hubungan antara kakak dengan adik ini jauh lebih erat dibandingkan dengan hubungan anak dengan kedua orang tuanya. Kakak dan adik ini menjadi role model buat adiknya, dan kakak lah yang selalu mendampingi adik dalam berbagai situasi, sehingga kesedihan atau luka yang diderita kakaknya itu menjadi satu hal yang mengganggu buat adik tersebut. Saya juga menangani (mendampingi psikologis) kakak, sebenarnya si kakak nggak sesakit hati adiknya terhadap perlakuan ibunya karena dia berusaha memaklumi apa yang terjadi atau yang dilakukan oleh ibunya,” sebut Irna.
Dia mengatakan bahwa dari hasil pendalaman, kakaknya dan AI sudah 3 tahun berakhir mendapatkan kekerasan dari ibunya. Terlebih setelah hubungan kedua orang tua mereka tidak harmonis.
“Jadi, kira-kira 3 tahun yang lalu, kelihatan ibu semakin temperamental. Secara psikologis, mungkin kita bisa pahami ini sebagai satu bentuk displacement, ya, satu pengalihan amarah yang mungkin sebenarnya marahnya sama ayah, sama suami, tapi akhirnya kemudian dialihkan pada anak,” ujarnya.
Fakta Terkini Bocah SD di Medan Bunuh Ibu
1. Hubungan Keluarga Korban Tak Harmonis
2. Kakak Rampas Pisau
3. Korban Ancam Keluarga Pakai Pisau
4. Terobsesi dari Game Online-Anime
6. Anak Tiru Kekerasan yang Dilihat dan Dialaminya
Calvijn menjelaskan bahwa selama ini, korban sering memarahi keluarganya dan mengancamnya menggunakan pisau. Selain itu, korban juga sering memarahi kakak AI serta memukulnya menggunakan sapu dan tali pinggang.
Bahkan, AI juga sering dimarahi dan dicubit oleh korban. Sebelum pembunuhan itu, AI sudah sempat berpikir untuk melukai korban.
“Nah, di sini menjelaskan apa yang menjadi motivasi si adik melakukan tindak pidana tersebut. Pertama, melihat kekerasan yang dilakukan korban terhadap kakak, adik, dan bapaknya yang diancam menggunakan pisau. Ini dilihat oleh si adik. Kemudian, adik melihat kakaknya yang dipukuli oleh korban menggunakan sapu dan tali pinggang. Lalu, si korban sakit hati karena game online-nya dihapus,” jelasnya .
AI melakukan perbuatan itu terobsesi dari game online dan serial anime detektif conan (DC). Calvijn Simanjuntak mengatakan AI menggunakan pisau untuk melukai ibunya karena melihat game online Murder Mystery.
“Bagaimana obsesi si korban dalam hal melakukan tindak pidananya? adik (AI) melihat game Murder Mystery pada season kills others menggunakan pisau. Makanya korban pada saat itu menggunakan pisau di dalam melakukan tindak pidananya. (AI) menonton serial anime DC pada saat adegan pembunuhan menggunakan pisau,” jelas Calvijn.
Laboratorium Forensik (Labfor) memeriksa DNA pisau dan ceceran darah dalam kasus tersebut. Hasilnya, tidak ditemukan DNA yang mengarah ke suami korban atau ayah AI.
“Itu sudah kita periksa DNA-nya dan tidak ada mengarah ke si bapak,” kata Kasubbid Kimia Biologi Bid Labfor Polda Sumut AKBP Hendri Ginting saat konferensi pers di Polrestabes Medan.
Hendri mengatakan pihaknya telah mengecek DNA di pisau dan juga ceceran darah di rumah tersebut. Selain DNA AI, pada pisau yang digunakan AI untuk melukai ibunya itu terdapat DNA korban. Pasalnya, pisau tersebut merupakan pisau dapur yang sering digunakan korban.
Selain itu, di pisau itu juga ada DNA kakak AI. Sebab, saat kejadian, kakak AI sempat berupaya merampas pisau tersebut dari AI. Lalu, darah yang berceceran dari lantai 1 hingga lantai 2 adalah darah kakak AI saat hendak memanggil ayahnya.
3. Korban Ancam Keluarga Pakai Pisau
4. Terobsesi dari Game Online-Anime
Psikolog forensik Irna Minauli mengatakan bahwa AI memiliki kecerdasan yang luar biasa. Bahkan, AI kerap meraih prestasi.
Irna mengatakan pihaknya juga telah menganalisis kondisi mental AI. Hasilnya, tidak ditemukan adanya gangguan mental pada AI.
Selain itu, psikolog juga menganalisis soal kemungkinan adanya gangguan perilaku atau conduct disorder pada AI. Gangguan perilaku ini, kata Irna, jika tidak cepat ditangani, maka ada kemungkinan anak menjadi psikopat. Namun, dari hasil pemeriksaan kepada AI, juga tidak ditemukan gangguan perilaku tersebut.
“Tetapi dalam konteks ini, gangguan perilaku atau conduct disorder juga tidak nampak. Misalnya tidak dijumpai bahwa anak conduct disorder itu sering mereka melanggar aturan. Mereka juga sering melukai binatang atau properti, ya, barang-barang. Itu juga tidak dijumpai pada anak (AI),” jelasnya.
Irna menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan AI, bukan terjadi karena AI mengalami gangguan mental. Namun, hal itu dipicu beberapa hal, seperti pengalaman kekerasan yang dialaminya.
“Jadi, kalau dilihat kemungkinan terjadinya peristiwa ini, bukan karena adanya gangguan kesehatan mental. Jadi, lebih ke arah, misalnya, pengalaman kekerasan yang dialami yang dia saksikan. Kekerasan-kekerasan itu bukan hanya dari keluarga, tapi juga mungkin dari tontonan yang dia lihat. Kemudian juga adanya emosi yang masih labil, sehingga dia cenderung memendam kemarahannya, sehingga akhirnya menjadi satu tindakan yang emotional outburst (ledakan). Jadi, meledak-ledak, tidak terkendali,” sebutnya.
Irna mengatakan bahwa kakak AI memang lebih sering mendapatkan tindakan kekerasan dari korban. Namun, AI juga merasa sakit hati dengan perlakuan ibunya kepada kakaknya.
Pasalnya, AI memiliki hubungan kedekatan dengan kakaknya. Alhasil, AI akan marah jika ada yang menyakiti kakaknya.
“Hubungan antara kakak dengan adik ini jauh lebih erat dibandingkan dengan hubungan anak dengan kedua orang tuanya. Kakak dan adik ini menjadi role model buat adiknya, dan kakak lah yang selalu mendampingi adik dalam berbagai situasi, sehingga kesedihan atau luka yang diderita kakaknya itu menjadi satu hal yang mengganggu buat adik tersebut. Saya juga menangani (mendampingi psikologis) kakak, sebenarnya si kakak nggak sesakit hati adiknya terhadap perlakuan ibunya karena dia berusaha memaklumi apa yang terjadi atau yang dilakukan oleh ibunya,” sebut Irna.
Dia mengatakan bahwa dari hasil pendalaman, kakaknya dan AI sudah 3 tahun berakhir mendapatkan kekerasan dari ibunya. Terlebih setelah hubungan kedua orang tua mereka tidak harmonis.
“Jadi, kira-kira 3 tahun yang lalu, kelihatan ibu semakin temperamental. Secara psikologis, mungkin kita bisa pahami ini sebagai satu bentuk displacement, ya, satu pengalihan amarah yang mungkin sebenarnya marahnya sama ayah, sama suami, tapi akhirnya kemudian dialihkan pada anak,” ujarnya.







