Beberapa bangunan peninggalan Belanda di Kota Medan masih berdiri kokoh. Bangunan-bangunan ini menjadi saksi sejarah yang sarat akan makna.
Salah satu peninggalan Belanda itu adalah tong air ‘raksasa’ yang berada di kawasan Asrama TNI Glugur Hong Medan. Letaknya berada di ujung Jalan Karantina, Kecamatan Medan Perjuangan.
Mungkin infoers belum banyak yang tahu soal peninggalan Belanda yang satu ini. Namun, bagi warga yang kerap melintas di sekitaran Asrama TNI Glugur Hong pasti sudah tidak asing lagi dengan tong atau toren air itu.
infoSumut mencoba untuk mendatangi lokasi tong itu. Tempatnya berada di tengah pemukiman warga di Asrama TNI Glugur Hong tersebut.
Tong itu berdiri tepat berada di pinggir jalan setapak. Jaraknya sekitar 50 meter dari simpang Jalan Prajurit dan Jalan Karantina.
Tong berbentuk menara itu menjulang tinggi mengalahkan rumah-rumah warga yang berada di sekitar menara. Tingginya sekitar 20 meter.
Menara ini terdiri dari bangunan yang terbuat dari semen dengan perkiraan setinggi 15 meter. Menara itu berwarna putih dengan cat yang sudah memudar.
Di atas menara itu, ada tong air besar yang diperkirakan dengan tinggi 5 meter. Tong itu berwarna coklat yang juga sudah memudar.
Pada salah satu sisi menara tampak ada pakaian yang tengah dijemur dengan tali yang diikat ke salah satu besi menara. Menurut informasi, besi ini dulunya digunakan sebagai tangga untuk naik ke atas menara. Selain itu, bagian depan menara tong air juga ada pintu yang tengah tertutup.
Konon, tong itu difungsikan sebagai penampung air perkebunan tembakau di daerah itu. Setelah ditinggalkan Belanda, tong air tersebut masih sempat digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci dan sebagai air minum.
Nah, taukah infoers bagaimana sejarah tong air berukuran besar ini? Berikut infoSumut berikan penjelasannya:
Salah seorang warga bernama Ibrahim Sinaga (85) mengaku pindah ke daerah itu di tahun 1970, saat usianya sekitar 30 tahun. Saat itu, kata Ibrahim, tong besar itu sudah berdiri. Dari keterangan pendahulu yang didapatnya, tong air tersebut sudah ada sejak tahun 1900-an.
Ibrahim menyebut bentuk tong sekarang sama persis dengan dulu, saat dirinya pertama kali menginjakkan kaki di wilayah itu.
“Ini dibangun tahun 1900-an sekian, kita kan masuk ke mari masih berhubungan dengan para pejuang, jadi nanya. Bentuknya sama persis,” kata Ibrahim saat ditemui di lokasi beberapa waktu lalu.
Anum (57), warga lain yang tinggal di samping tong besar itu mengaku masih sempat merasakan air yang keluar dari tong itu. Dia mengaku orang tuanya pindah ke wilayah itu sekitar tahun 1960-an. Saat itu, orang Belanda sudah tidak ada lagi di wilayah tersebut.
Sejak masih duduk di bangku kelas 3 SD hingga menginjak usia dewasa, kata Anum, dirinya selalu mandi dan mencuci baju di tempat tersebut. Tong itu menjadi sumber air masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Air dari tong yang berada di atas menara dialirkan melalui pipa besi berukuran besar yang dipasang di bagian dalam menara. Pada bagian pipa paling bawah, akan ada pipa-pipa kecil untuk menyalurkan air.
Anum menyebut air itu tidak pernah mati. Biasanya warga ramai untuk mencuci atau mandi pada pagi dan sore hari.
Bahkan, warga dari luar asrama itu juga mengambil air ke tong itu. Anum menyebut air itu hanya bisa digunakan untuk mandi, mencuci baju dan buang air kecil, sementara untuk buang air besar tidak bisa.
“Sumber air dulu, mencuci kain pun saya dari kelas 3 SD di situ, ambil air minum di situ, air dari Sembahe, ada pipanya dibuat orang Belanda, airnya bersih, kadang kami minum langsung, manis airnya,” kata Anum.
Baca Selengkapnya di Halaman Selanjutnya…
Anum menyebut bentuk menara itu juga persis dengan sekarang, tidak ada yang diubah, begitu juga dengan warnanya, hanya pudar saja. Dia mengatakan ada sekitar 5 meter pondasi yang dibangun di bawah menara untuk memperkokoh bangunan.
“Persis memang gini juga, nggaka ada ditambah-tambahi. Anak lajang dulu masih mau mereka naik ke atas main-main di situ, sekarang sudah kakek-kakek,” kenang Anum.
Seingatnya, tong itu mulai tidak digunakan lagi pada tahum 1980-an. Saat itu, sudah ramai warga yang menyalurkan air langsung ke rumah masing-masing.
Alhasil, pipa yang berada di dalam menara itu juga kian lapuk dan terpaksa dicopot karena takut membahayakan. Kini, kata Anum, menara itu telah dijadikan rumah oleh warga sekitar.
“Setelan masuk air ke rumah-rumah, dimatikan lah dari sana. Jadi, sayang nggak dipakai lagi, makanya dimatiin. Dulu nggak ada pintunya, cuman karena ada rumah, dibuat pintu,” pungkasnya.
Sejarawan Muda Kota Medan M Aziz Rizky Lubis mengatakan tong itu dulunya digunakan untuk menampung kebutuhan air perkebunan tembakau, seperti untuk menyiram tanaman dan kebutuhan air para pekerja.
“Itu toren penampung air saja, buat menyiram tembakau, buat para pekerja, kebutuhan sehari-hari. Kalau dilihat bangunnanya memang bangunan yang dibangun di masa Belanda, dilihat dari lokasinya berada di wilayah perkebunan Glugur,” kata Aziz.
Aziz menyebut belum ada data pasti soal tahun pembuatan tong itu serta sejarah dari perkebunan Glugur itu. Namun, setiap perkebunan biasanya memiliki tong-tong seperti itu.
Dulunya, kata Aziz, ada keterbatasan penyaluran air, seperti halnya perkebunan zaman sekarang. Oleh karena itu, pihak Belanda membuat tong itu untuk menyimpan pasokan air.
“Fungsinya sama kayak toren air sekarang, itu kan air tidak selalu (ada), bukan karena keterbatasan air, tapi keterbatasan teknologi saat itu, keterbatasan penyaluran air, sama kayak di kebun sekarang, (hidupnya) dari jam segini sampai segini sehingga pada saat air hidup ditampung. Jadi, saat mati sudah ada persediaan airnya,” jelasnya.