Layanan Autis Batam Kekurangan Terapis hingga Pelayanan Terganggu

Posted on

Pusat Layanan Autis (PLA) Batam, satu-satunya lembaga pelayanan terapi bagi anak penyandang autisme Kepulauan Riau (Kepri), kini mengalami kekurangan tenaga terapis. Kondisi itu dikeluhkan para orang tua siswa yang merasakan dampaknya selama dua bulan terakhir ini.

“Saat ini hanya ada satu terapis, sebelumnya tiga orang, tapi dua orang lainnya sudah lolos seleksi PPPK. Jika satu lagi juga lolos, maka tidak ada lagi terapis di PLA,” kata salah satu orang tua siswa, Rana, Rabu (2/7/2025).

PLA Batam sebelumnya memiliki lima orang staf, terdiri dari tiga terapis, satu tenaga usaha, dan satu petugas kebersihan. Namun, seluruhnya kini telah mengikuti seleksi PPPK, dan setelah dilantik tidak lagi ditempatkan di PLA.

“Harusnya setelah lulus PPPK, mereka dikembalikan lagi ke PLA, karena memang dari awal ditugaskan di sana,” ujarnya.

Rana menyebut kondisi ini sangat mempengaruhi layanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Tidak hanya terapi yang terhenti, kebersihan dan aktivitas di PLA pun terganggu karena kekurangan staf.

“Sekarang kotor di mana-mana. Dulu sampai 60 anak, sekarang tinggal 15 karena tidak ada terapis,” ucapnya.

Rana menerangkan pihaknya mendapat keluhan dari PLA bahwa sejak tiga tahun terakhir tidak ada lagi dana operasional dari pemerintah. Akibatnya, orang tua murid terpaksa melakukan iuran sebesar Rp 100 ribu per bulan untuk menutupi biaya kegiatan terapi air dan les musik, serta kebutuhan lain seperti pembelian kertas.

“Kami orang tua tidak keberatan karena anak kami ditangani dengan baik oleh terapis. Kalau terapi di luar, bisa Rp 80 ribu sampai Rp 120 ribu per jam,” tambahnya.

Menurut Rana, para orang tua anak berkebutuhan khusus sudah pernah menyampaikan ke staf Gubernur Kepri yang sempat datang ke sekolah. Namun belum ada kepastian kapan persoalan ini akan ditindaklanjuti.

“Kita sudah pernah sampaikan kondisi ini ke staf khusus gubernur. Kami juga pernah datangi Gedung Graha Kepri untuk bertemu gubernur tapi oleh di staf diarahkan membuat surat. Kami harap keluhan kami bisa didengarkan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan Khusus Disdik Kepri, Siti Hidayati Roma, menyebut bahwa secara kelembagaan PLA belum memiliki struktur resmi dan masih dalam proses pembentukan.

“Selama ini PLA tidak punya struktur organisasi. Kita sudah usulkan agar ada perubahan, dan saat ini sedang diusulkan untuk disusun peraturan gubernurnya,” kata Siti.

Siti menyebut ada dua opsi yang disiapkan untuk kelembagaan PLA ke depan. Opsi pertama yakni digabungkan dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dan opsi kedua masuk ke dalam Bidang Pembinaan Pendidikan Khusus.

“Ada dua skema yang disiapkan untuk PLA,” ujarnya.

Siti menegaskan bahwa PLA sejauh ini tidak memiliki tenaga terapis bersertifikat. Terapis yang sebelumnya di PLA bukan merupakan orang yang ahli di bidangnya.

“Lima staf yang selama ini bekerja di PLA ternyata bukan terapis bersertifikasi. Mereka sudah terbiasa melakukan terapi, tapi secara formal mereka tidak memenuhi syarat,” ujarnya.

Siti menyampaikan alasan tidak bisa bisa ditempatkan kembali para terapis ke PLA usai lulus PPPK karena Disdik tidak dapat mengusulkan formasi terapis dan itu merupakan kewenangan Dinas Kesehatan. Sebagai solusinya, jika PLA digabungkan ke SLB atau bidang pendidikan khusus, maka layanan terapi harus dilakukan melalui kerja sama dengan tenaga profesional.

“Harus dibedakan, anak autis sebagai peserta terapi itu beda dengan peserta didik. Anak yang belum lolos asesmen tidak bisa langsung masuk SLB, mereka harus terapi rutin dulu,” jelasnya.

Pemprov menargetkan regulasi terkait status hukum PLA dapat rampung tahun ini. Setelah statusnya jelas, bantuan resmi dari pemerintah bisa dikucurkan dan proses pelayanan bisa berjalan lebih baik.

“Untuk status PLA tahun ini ditargetkan harus siap. Mudah-mudahan lebih cepat,” ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *