Tuanku Rao adalah nama yang terukir dalam sejarah sebagai seorang ulama dan panglima perang terkemuka dari Minangkabau. Ia dikenal tangguh dan gigih dalam memimpin perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, khususnya di wilayah Pasaman dan sekitarnya.
Perjuangannya menjadi bagian tak terpisahkan dari Perang Paderi yang berkecamuk di Sumatera Barat. Yuk, simak informasi tentang Tuanku Rao berikut ini!
Mengutip buku Tuanku Rao: Perananya dalam Gerakan Paderi karya Siti Rohana dan Ajisman, Perlawanan Tuanku Rao mencapai puncaknya pada periode 1831-1833. Pada tahun 1831, Kaum Paderi lebih dahulu melakukan penyerbuan ke Benteng Belanda di Air Bangis. Sayangnya, serangan ini gagal karena pasukan kolonial mendapatkan bantuan dari Batavia, ditambah adanya pengkhianatan dari Nahkoda Langkap yang menyerang perahu-perahu Aceh yang bersekutu dengan Paderi.
Kegagalan ini justru memicu Belanda untuk semakin gencar melancarkan serangan. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout, pasukan kolonial bergerak menuju pedalaman, menargetkan Matur dan Bonjol yang menjadi jantung pertahanan Kaum Paderi. Setelah pertempuran sengit yang berlangsung selama sebelas tahun, Matur akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 10 September 1832.
Jatuhnya Matur membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai Bonjol tanpa perlawanan berarti. Di tengah situasi sulit ini, Tuanku Rao menunjukkan kecerdikannya. Pada Oktober 1832, saat bertemu dengan Letnan H.J.Y Engelbert van Ververvoorden yang membujuknya untuk menyerah, Tuanku Rao menyusun siasat.
Dengan dalih akan mundur dari politik dan hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah, ia berhasil mengelabui Belanda. Namun, sebenarnya Tuanku Rao diam-diam menarik diri dari Rao untuk menyusun kekuatan baru. Ia kemudian menuju Air Bangis untuk kembali mengobarkan api perlawanan.
Dalam perjuangannya, Kaum Paderi membangun benteng-benteng sebagai pusat pertahanan. Salah satu yang terpenting adalah Benteng Rao di Padang Matinggi, yang didirikan atas inisiatif Tuanku Imam Bonjol dan dikomandani langsung oleh Tuanku Rao.
Benteng ini tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan militer, tetapi juga sebagai pusat kehidupan. Di dalamnya terdapat tempat tinggal, tempat belajar mengaji bagi anak-anak, serta menjadi lokasi penyusunan taktik dan strategi perang. Dibangun dari bambu berduri yang ditanam rapat, benteng ini sangat sulit ditembus oleh musuh.
Pergerakan Tuanku Rao di Air Bangis untuk mengumpulkan pasukan dan persenjataan tercium oleh mata-mata Belanda yang berasal dari anak negeri sendiri. Belanda segera bertindak cepat dengan mendatangkan pasukan dan kapal perang “Circe” dari Teluk Bayur untuk mengepungnya.
Dalam pengepungan yang tak terduga itu, Tuanku Rao memberikan perlawanan yang heroik. Meskipun telah menderita luka berat akibat hujan peluru, ia terus bertarung hingga titik darah penghabisan dengan sebilah keris di tangan, sebelum akhirnya rubuh pada 29 Januari 1833.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Karena kebenciannya, Belanda membawa Tuanku Rao yang terluka parah ke atas kapal “Circe”. Sekitar satu jam kemudian, untuk melampiaskan dendam, tubuh sang pejuang dilemparkan begitu saja ke laut. Hingga kini, lokasi tersebut dikenal oleh masyarakat Air Bangis sebagai Gosong Tuanku Rao, menjadi pengingat abadi akan pengorbanan seorang pahlawan yang tidak pernah tunduk pada penjajah.