Orang dengan IQ tinggi kerap dikenal bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena kebiasaan yang mereka pilih untuk tidak dilakukan. Mereka lebih selektif dalam mengelola emosi, waktu, dan energi agar tetap fokus pada hal-hal yang bermanfaat.
Faktor itulah yang membuat pola hidup mereka sering terlihat berbeda dari orang kebanyakan. Salah satu ciri yang menonjol adalah kemampuan mereka menghindari kebiasaan negatif seperti menyimpan dendam, terpancing drama, hingga terjebak dalam gosip dan konflik yang tidak perlu.
Dikutip infoEdu dari The Minds Journal, salah satu ciri orang cerdas yakni tidak terburu-buru menghakimi atau menilai seseorang. Mereka cenderung akan mencari tahu terlebih dahulu kemudian mengamati dan memahaminya.
Ruang penyimpanan otak dan mental orang-orang cerdas sering kali digunakan untuk hal-hal yang bisa membuat mereka berkembang. Inilah penyebab orang-orang cerdas menghindari untuk menyimpan dendam, yang berpotensi melelahkan secara mental.
Secara psikologis, orang-orang cerdas memiliki pengaturan emosi yang baik, seperti memproses, memaafkan, dan melanjutkan kehidupan. Mereka tahu kapan untuk melepaskan perasaan yang tak seharusnya disimpan lama-lama.
Media sosial semakin membuat penggunanya nyaman untuk berlama-lama menggulir atau scrolling layar. Orang cerdas juga dapat melakukannya, tapi tidak terjebak pada aktivitas ini.
Orang-orang cerdas sadar, jika sesuatu berpotensi membelenggu mereka, berarti harus dibatasi. Prinsip ini mereka pegang karena orang cerdas pandai menjaga mental dan emosional sehingga fokus pada perkembangan diri.
Alih-alih berlama-lama menggunakan media sosial, orang cerdas akan memilih menyibukkan diri dengan hal-hal yang kreatif, menambah pengetahuan, dan fokus pada dirinya.
Profesor Psikiatri University of California, San Francisco, Joseph Pierre, MD menjelaskan orang-orang cerdas tidak luput dari jebakan misinformasi dan hoaks. Sebab, ada bias kognitif yang membuat mereka percaya akan informasi salah yang selaras dengan hal yang mereka yakini.
Kendati demikian, orang, termasuk orang cerdas, dapat memanfaatkan kemampuan berpikir analitis, fleksibilitas kognitif, dan sadar diri atas kemampuan intelektual diri. Dalam hal ini, orang dapat mengakui dirinya bisa salah, mau mendengarkan perspektif lain dan mengubah pemikiran sendiri, serta tidak buru-buru membuat kesimpulan.
Orang-orang cerdas cenderung memilih tontonannya. Mereka akan menghindari tontonan yang bertema konflik atau drama yang berlebihan dengan bumbu sensasi. Orang-orang cerdas cenderung lebih menyukai konten yang memperkaya pengetahuan atau merangsang refleksi.
Media sosial semakin memudahkan orang-orang untuk mengikuti tren yang tengah ramai. Fenomena ini kemudian memunculkan istilah FOMO atau Fear of Missing Out, yang berarti rasa cemas atau takut ketinggalan sesuatu seperti tren.
Menurut The Minds Journal, orang-orang cerdas tidak akan mudah mengikuti tren. Mereka akan berpikir sebelum mengikuti suatu hal.
Otak orang-orang cerdas telah dirancang untuk berpikir mandiri sehingga tak harus mengikuti tren hanya untuk sekadar validasi. Maka itu, orang-orang cerdas kerap menghindari hal-hal viral.
Orang cerdas cenderung fokus memperhatikan waktu untuk mengisinya dengan hal-hal yang mereka ingin kerjakan. Kecenderungan ini membuat orang-orang cerdas jarang mengusik dan mengobrol tentang kehidupan orang lain.
Sebagai contoh, alih-alih membuang waktu untuk bergosip, orang-orang cerdas lebih memilih berduduk santai sendiri atau menikmati taman. Pilihan ini diambil karena mereka fokus dengan rasa ingin tahu dan terkoneksi dengan alam, alih-alih drama pribadi orang lain.







