Cerita Rini Dayung Perahu 2 Jam Terobos Malam Saat Banjir di Aceh Tamiang

Posted on

Sungai Tamiang meluap ke kawasan permukiman warga di Dusun Tualang, Desa Sungai Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang. Rini (46) bersama puluhan warga mendayung perahu memakai tangan menerobos gelapnya malam selama 2 jam dengan ketinggian air mencapai 4-5 meter.

Rini mengatakan banjir mulai merendam permukiman pada Rabu (24/11) pagi. Namun sore hari, air semakin tinggi dan mereka mengungsi ke Puskesmas berlantai 2 dekat rumah mereka.

“Kami kira nggak lah sampai kejadiannya seperti ini, bapak masih jualan siang, tapi sore kok air bertambah-tambah terus, kencang kali, jadi kami siap-siap antarkan ke Puskesmas, Puskesmas kan lantai 2,” kata Rini saat ditemui di depan rumahnya, Selasa (9/12/2025).

Rumah Rini terlihat banyak lumpur dan barang-barang bekas banjir. Bekas ketinggian air masih terlihat di dinding rumah Rini, ketinggian air nyaris menyentuh atap rumahnya.

Rini membawa sejumlah berkas berisi ijazah miliknya dan keluarganya. Ia bersama suami juga membawa anaknya sekitar pukul 18.00 WIB ke Puskesmas karena air semakin tinggi di rumah mereka.

“Air semakin parah, bahan makanan kami nggak ada apapun, kami ambil di kedai apa yang bisa diambil, indomie air galon,” ujarnya.

Pada Jumat (26/11) sekira pukul 01.00 WIB, banjir semakin membesar. Ketinggian air di dalam lantai 2 Puskesmas mencapai sebetis orang dewasa.

Melihat situasi itu, Rini bersama sekitar 20-an warga lain terdiri dari lansia hingga anak-anak naik perahu. Mereka pindah dari Puskesmas menuju bukit yang lebih tinggi.

“Sudah naik ke lantai 2, jadi kami jam 1 malam naik boat nyebrang ke lebih tinggi, ada bukit tinggi,” ucapnya.

Mereka meminjam perahu milik anggota DPRD Kabupaten Aceh Tamiang yang berada di samping rumah Rini. Mereka mendayung perahu menggunakan tangan dengan ketinggian air di atas pohon sawit maupun tiang kabel listrik.

“Dari jam 1 malam kami pakai tangan (mendayung), jam 3 pagi kami sampai di pengungsian (bukit), (perahu) kami jalan di atas pohon sawit, di atas tiang-tiang kabel listrik ini, melewatinya harus hati-hati, kan takutnya nyangkut, kami muatannya 30 orang,” sebutnya.

Mereka bertahan 3 hari di posko pengungsian di atas bukit. Setelah itu, pada Senin (1/12) mereka mengecek kondisi rumah meskipun banjir masih menggenangi permukiman.

Air mulai surut di permukiman warga sekitar Kamis-Jumat (4-5/12). Tidak ada korban jiwa saat banjir yang disebut paling parah selama puluhan tahun terakhir di lokasi ini.

Saat ini, Rini bersama keluarga sudah kembali ke rumah. Namun mereka masih tinggal di warung depan rumah, karena rumah masih dipenuhi lumpur.

Selama sepekan terakhir, mereka bertahan hidup dengan bantuan keluarga, warga yang melintas maupun posko di sekitar lokasi. Keterbatasan air bersih juga menjadi turunan permasalahan pasca banjir yang mereka alami.

Rini terlihat berlinang air mata saat menceritakan kisahnya bertahan hidup menghadapi banjir bandang. Rini yang merupakan ASN Dinas Pendidikan Aceh Tamiang ini hanya berusaha ikhlas dan berharap bantuan pemerintah untuk membersihkan rumah yang dipenuhi lumpur.

“Rumah nggak bisa dicuci, nggak ada air kami, rumah dalamnya hancur,” ujarnya.

Di sekitar rumah Rini, banyak rumah dari papan yang terlihat bergeser maupun ambruk. Sedangkan rumah beton disebut masih bertahan menghadapi terjangan banjir bandang.

“Kalau papan bergeser dia,” sebut Johansyah (58), suami dari Rini.

Johansyah lahir dan besar di Dusun Tualang. Ia menilai banjir bandang kali ini yang paling parah yang terjadi di daerah itu.

“Ini paling parah (sepanjang aku hidup), kami rasakan kemarin itu yang 2006 lumayan tapi nggak separah ini,” tuturnya.