Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan permintaan maaf kepada para pengemudi ojek online (ojol) terkait pelaksanaan kebijakan Bonus Hari Raya (BHR) saat Lebaran lalu, yang dinilai belum berjalan secara maksimal.
Yassierli menjelaskan bahwa waktu pembahasan mengenai kebijakan BHR cukup singkat. Namun, menurutnya, keputusan tersebut merupakan hasil terbaik dari dialog bersama antara pemerintah, pengemudi, dan perusahaan aplikasi pada saat itu.
“Saya juga mohon maaf kalau BHR kemarin saya dan Pak Wamen itu belum optimal, tapi dari awal saya sudah sampaikan kita harus maju,” kata Yassierli dalam acara diskusi publik di Plaza BPJAMSOSTEK Kuningan, Jakarta Selatan, dilansir infoFinance, Kamis (8/5/2025).
Ia menambahkan bahwa masih banyak kekurangan dalam kebijakan tersebut, yang sebagian besar disebabkan oleh keterbatasan waktu. Semakin lama proses pengambilan keputusan, semakin sulit pula kondisi keuangan perusahaan aplikasi untuk menyesuaikan.
“Memang banyak, masih banyak (kekurangan) karena kita evaluasi juga waktunya terbatas ya Pak Wamen. Semakin lama kita memutuskan waktu itu, kondisi finansial dari aplikatornya juga semakin tidak fleksibel,” sambungnya.
Yassierli mengatakan, kebijakan BHR ini baru dirancang beberapa bulan menjelang Hari Raya, sehingga implementasinya belum sepenuhnya optimal. Ke depannya, ia berjanji akan menyempurnakan kebijakan ini melalui diskusi yang lebih menyeluruh dengan pihak-pihak terkait.
Ia juga menyinggung berbagai kritik yang muncul terhadap kebijakan BHR. Bahkan, ada akademisi yang meragukan kebijakan tersebut dan menyebutnya tidak masuk akal.
“‘Itu Menteri Ketenagakerjaan katanya profesor, kok kebijakannya bodoh begitu?’ Jadi saya sesama profesor pun saling bodohin ternyata. ‘Nggak pernah ada itu namanya BHR, itu kebijakan dari mana? Contoh dari mana?’ Ya saya katakan ini bukan masalah contoh. Ini adalah DNA bangsa kita, itu adalah kepedulian saat hari keagamaan,” terangnya.
Yassierli menjelaskan bahwa kebijakan BHR muncul dari kebutuhan pekerja di Indonesia yang memiliki karakter sosial khas, yaitu semangat gotong royong. Karena itu, kebijakan semacam ini tidak ditemukan di negara lain.
“Jangan ditanya ke saya, ini best practice atau buku manajemen mana? Saya enam tahun tinggal di Amerika saya katakan. Jadi kalau bicara tentang teori manajemen Amerika, saya tahu. Saya sudah baca buku-bukunya, tapi ada yang hilang dari teori manajemen Barat itu adalah, kekeluargaan dan gotong royong dan itu hanya ada di Indonesia,” ujarnya.
Ia berharap proses dialog dan kerja sama yang sudah dilakukan, termasuk dengan mitra pengemudi, dapat terus dilanjutkan. Dengan begitu, kebijakan ke depan bisa lebih tepat sasaran dan memberikan manfaat nyata.