Kumpulan Puisi tentang Ibu, Cocok untuk Perayaan Hari Ibu 2025

Posted on

Bulan Desember identik dengan momen spesial bagi keluarga Indonesia, yakni peringatan Hari Ibu yang jatuh setiap tanggal 22 Desember. Peringatan ini menjadi momen yang dinantikan untuk mengapresiasi segala perjuangan dan pengorbanan seorang ibu.

Salah satu cara paling indah untuk menyampaikan perasaan kepada ibu adalah melalui puisi. Puisi merupakan karya sastra yang memuat ungkapan hati dan pikiran secara kreatif melalui bahasa yang indah, ritme, dan rima yang mampu membangkitkan emosi.

Lewat kata-kata, kita bisa mengingat kembali betapa berharganya kasih sayang seorang ibu yang tak ternilai harganya.

Berikut adalah kumpulan puisi tentang ibu karya penyair terkenal yang bisa menjadi inspirasi infoers untuk mengungkapkan rasa cinta kepada beliau. Yuk, simak!

1. “Ibu” Karya Chairil Anwar

Pernah aku ditegur

Katanya untuk kebaikan

Pernah aku dimarah

Katanya membaiki kelemahan

Pernah aku diminta membantu

Katanya supaya aku pandai

Ibu..

Pernah aku merajuk

Katanya aku manja

Pernah aku melawan

Katanya aku degil

Pernah aku menangis

Katanya aku lemah

Ibu..

Setiap kali aku tersilap

Dia hukum aku dengan nasihat

Setiap kali aku kecewa

Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat

Setiap kali aku bangun dalam kesakitan

Dia ubati dengan penawar dan semangat

Dan bila aku mencapai kejayaan

Dia kata bersyukurlah pada Tuhan

Namun..

Tidak pernah aku lihat air mata dukamu

Mengalir di pipimu

Begitu kuatnya dirimu..

Ibu..

Aku sayang padamu..

Tuhanku..

Aku bermohon padaMu

Sejahterakanlah

dia

Selamanya..

2. “Ibu” Karya Kahlil Gibran

Ibu adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan.

Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan.

Dialah sumber cinta, belas kasihan, simpati dan pengampunan.

Manusia yang kehilangan ibunya berarti kehilangan jiwa

sejati yang memberi berkat dan menjaganya tanpa henti.

Segala sesuatu di alam ini melukiskan tentang sosok ibu.

Matahari adalah ibu dari planet bumi yang memberikan makanannya dengan pancaran

panasnya.

Matahari tak pernah meninggalkan alam semesta pada malam

hari sampai matahari meminta bumi untuk tidur sejenak di dalam nyanyian lautan

dan siulan burung-burung dan anak-anak sungai.

Dan Bumi ini adalah ibu dari pepohonan dan bunga-bunga

menjadi ibu yang baik bagi buah-buahan dan biji-bijian.

Ibu sebagai pembentuk dasar dari seluruh kewujudan dan adalah roh kekal, penuh

dengan keindahan dan cinta.

3. “Ibu” Karya D. Zawawi Imron

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

Sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting

Hanya mata air air matamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau

Sedap kopyor dan ronta kenakalanku

Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari kerinduan

Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku

Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang

Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi

Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera

Sempit lautan teduh

Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri

Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh

Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

Lantaran aku tahu

Engkau ibu dan aku anakmu

4. Jendela Karya Joko Pinurbo

Di jendela tercinta ia duduk-duduk

bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.

Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi

dan setiap mereka ayunkan kaki

tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan dan kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,

melihat bulan menggelinding di gigir tebing,

meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….

Sesaat mereka membisu.

Gigil malam mencengkeram bahu.

“Rasanya pernah kudengar suara byuuurrr

dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”

“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”

timpal si ibu sembari memungut sehelai angin

yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.

Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.

Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa bersama.”

“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?

Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang

dan membiarkan jendela tetap terbuka.

Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,

menerangi tidur mereka yang bersahaja

seperti doa yang tak banyak meminta.

5. “Sajak Ibunda” Karya W.S. Rendra

Mengenangkan ibu adalah mengenangkan buah-buahan.

Istri adalah makanan utama.

Pacar adalah lauk-pauk.

Dan Ibu adalah pelengkap sempurna

kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah langit senja kala.

Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.

Suaranya menjadi gema dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu, aku melihat janji baik kehidupan.

Mendengar suara ibu, aku percaya akan kebaikan manusia.

Melihat foto ibu, aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,

aku pun ingat kamu juga punya ibu.

Aku jabat tanganmu,

aku peluk kamu di dalam persahabatan.

Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,

agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing

yang selalu, bagai bumi, air dan langit,

membela kita dengan kewajaran.

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.

Demikian pula koruptor, tiran, fasis,

wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,

mereka pun punya ibu.

Macam manakah ibu mereka?

Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?

Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?

Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:

“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;

yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi kemelaratan rakyat,

lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,

sementara orang desa yang tanpa tanah jumlahnya melimpah.

Kini aku kaya.

Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung

bakal kuburanmu nanti.”

Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.

Tetapi lalu bagaimana sang anak akan menerangkan kepada ibunya

tentang kedudukannya sebagai tiran, koruptor, hama hutan, dan tikus sawah?

Apakah sang tiran akan menyebut dirinya sebagai pemimpin revolusi?

Koruptor dan antek modal asing akan menamakan dirinya sebagai pahlawan

pembangunan?

Dan hama hutan serta tikus sawah akan menganggap dirinya sebagai petani

teladan?

Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?

Mungkinkah seorang ibu akan berkata:

“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.

Jagalah dadamu terhadap hawa malam.

Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.

O, ya, kalau nanti dapat amplop,

tolong belikan aku udang goreng.”

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.

Kamu adalah tugu kehidupanku,

yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.

Kamu adalah Indonesia Raya.

Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.

Kamu adalah hutan di sekitar telaga.

Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.

Kamu adalah kidung rakyat jelata.

Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

6. “Ibu” Karya Sapardi Djoko Damono

Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua.

Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku

Ayah sudah meninggal,

ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga,

beberapa langkah saja dari rumah kami.

Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam,

menyapu sampah, dan kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga.

“Ayahmu bukan pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api,

“ia tahu benar apa yang terjadi.”

Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,

Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota.

Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam ayah,

mengirim doa.

Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja.

“Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah

mempercayai segala yang dikatakannya.”

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat

udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega.

Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara

bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega

dan tidak mondar-mandir dari dapur ke tempat tidur,

memberi makan dan menyusui anak-anaknya.

“Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu,

“meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami

igauan-igauanmu.”

Semoga kumpulan puisi di atas dapat mewakili perasaan infoers kepada Ibu tercinta. Selamat memperingati Hari Ibu!

3. “Ibu” Karya D. Zawawi Imron

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

Sumur-sumur kering, daun pun gugur bersama reranting

Hanya mata air air matamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau

Sedap kopyor dan ronta kenakalanku

Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari kerinduan

Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku

Dan ibulah yang meletakkan aku di sini

Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang

Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi

Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera

Sempit lautan teduh

Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri

Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh

Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

Lantaran aku tahu

Engkau ibu dan aku anakmu

4. Jendela Karya Joko Pinurbo

Di jendela tercinta ia duduk-duduk

bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.

Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi

dan setiap mereka ayunkan kaki

tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan dan kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,

melihat bulan menggelinding di gigir tebing,

meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….

Sesaat mereka membisu.

Gigil malam mencengkeram bahu.

“Rasanya pernah kudengar suara byuuurrr

dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”

“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”

timpal si ibu sembari memungut sehelai angin

yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.

Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.

Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa bersama.”

“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?

Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang

dan membiarkan jendela tetap terbuka.

Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,

menerangi tidur mereka yang bersahaja

seperti doa yang tak banyak meminta.

5. “Sajak Ibunda” Karya W.S. Rendra

Mengenangkan ibu adalah mengenangkan buah-buahan.

Istri adalah makanan utama.

Pacar adalah lauk-pauk.

Dan Ibu adalah pelengkap sempurna

kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah langit senja kala.

Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.

Suaranya menjadi gema dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu, aku melihat janji baik kehidupan.

Mendengar suara ibu, aku percaya akan kebaikan manusia.

Melihat foto ibu, aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,

aku pun ingat kamu juga punya ibu.

Aku jabat tanganmu,

aku peluk kamu di dalam persahabatan.

Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,

agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing

yang selalu, bagai bumi, air dan langit,

membela kita dengan kewajaran.

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.

Demikian pula koruptor, tiran, fasis,

wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,

mereka pun punya ibu.

Macam manakah ibu mereka?

Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?

Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?

Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:

“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;

yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi kemelaratan rakyat,

lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,

sementara orang desa yang tanpa tanah jumlahnya melimpah.

Kini aku kaya.

Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung

bakal kuburanmu nanti.”

Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.

Tetapi lalu bagaimana sang anak akan menerangkan kepada ibunya

tentang kedudukannya sebagai tiran, koruptor, hama hutan, dan tikus sawah?

Apakah sang tiran akan menyebut dirinya sebagai pemimpin revolusi?

Koruptor dan antek modal asing akan menamakan dirinya sebagai pahlawan

pembangunan?

Dan hama hutan serta tikus sawah akan menganggap dirinya sebagai petani

teladan?

Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?

Mungkinkah seorang ibu akan berkata:

“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.

Jagalah dadamu terhadap hawa malam.

Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.

O, ya, kalau nanti dapat amplop,

tolong belikan aku udang goreng.”

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.

Kamu adalah tugu kehidupanku,

yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.

Kamu adalah Indonesia Raya.

Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.

Kamu adalah hutan di sekitar telaga.

Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.

Kamu adalah kidung rakyat jelata.

Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

6. “Ibu” Karya Sapardi Djoko Damono

Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua.

Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku

Ayah sudah meninggal,

ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga,

beberapa langkah saja dari rumah kami.

Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam,

menyapu sampah, dan kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga.

“Ayahmu bukan pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api,

“ia tahu benar apa yang terjadi.”

Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah,

Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota.

Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam ayah,

mengirim doa.

Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja.

“Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah

mempercayai segala yang dikatakannya.”

Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat

udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega.

Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara

bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega

dan tidak mondar-mandir dari dapur ke tempat tidur,

memberi makan dan menyusui anak-anaknya.

“Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu,

“meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami

igauan-igauanmu.”

Semoga kumpulan puisi di atas dapat mewakili perasaan infoers kepada Ibu tercinta. Selamat memperingati Hari Ibu!