Bulan Rajab merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam kalender Hijriah. Di berbagai daerah, kedatangan bulan ini disambut dengan beragam cara unik, salah satunya di Sumatera Barat (Sumbar).
Mengutip artikel “Mandoa Sambareh Bulan Rajab Sebagai Tradisi Menyambut Bulan Suci Ramadhan di Padang Pariaman” oleh Dinda Puspita, dkk. pada Jurnal Ilmiah Langue and Parole, masyarakat setempat memiliki tradisi khusus yang disebut dengan Mandoa Sambareh.
Tradisi ini tidak hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga memuat nilai sejarah, sosial, dan kuliner yang kental akan identitas masyarakat Padang Pariaman, khususnya di daerah Ulakan. Berikut informasi lengkapnya.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Bagi masyarakat Padang Pariaman, Sumbar, bulan Rajab memiliki nama lain yang sangat lekat dengan kearifan lokal, yaitu “Bulan Sambareh” atau bulan serabi. Penamaan ini merujuk pada Sambareh, sejenis penganan tradisional berbahan dasar tepung beras (serabi) yang menjadi hidangan utama dalam tradisi ini.
Selain disebut Bulan Sambareh, bulan Rajab juga dikenal sebagai “Bulan Anak”. Hal ini dikarenakan tujuan utama pelaksanaan tradisi Mandoa Sambareh adalah untuk mendoakan arwah orang-orang yang telah meninggal dunia, baik itu orang tua maupun anak-anak, agar mendapatkan keselamatan di akhirat.
Keberadaan tradisi ini tidak lepas dari proses Islamisasi di Minangkabau. Tradisi ini dibawa dan diajarkan oleh Syekh Burhanuddin, tokoh ulama besar yang menyebarkan Islam di Sumatera Barat. Syekh Burhanuddin membawa ajaran ini dari Aceh, tempat beliau berguru kepada Syekh Abdurrauf as-Singkili.
Secara budaya, tradisi Mandoa Sambareh memiliki kemiripan dengan tradisi Khanduri Apam di Aceh yang juga dilaksanakan pada bulan Rajab untuk memperingati Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. Kemiripan cara penyajian dan tujuan acara menunjukkan adanya akulturasi budaya Islam yang dibawa dari Aceh ke Minangkabau.
Pelaksanaan tradisi ini biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Berikut adalah tahapan prosesi yang umum dilakukan oleh masyarakat Ulakan dan Padang Pariaman:
Tuan rumah terlebih dahulu membuat Sambareh dan menyiapkan hidangan makan besar (nasi dan sambal).
Warga akan mengundang seorang pemimpin agama yang disebut dengan gelar Tuanku untuk memimpin doa ke rumah.
Prosesi ini disebut Mandoa Sambareh Mula. Uniknya, Tuanku akan membacakan doa dari buku khusus yang memang diperuntukkan untuk doa dengan hidangan sambareh, bukan doa-doa umum biasa.
Sebelum doa dimulai, tuan rumah menyampaikan “kaba” atau hajatnya, seperti mendoakan arwah keluarga yang meninggal atau memohon kelancaran rezeki.
Setelah doa selesai, Tuanku akan disuguhi makan nasi terlebih dahulu. Setelah itu, barulah Sambareh dengan kuah gula aren disajikan sebagai hidangan penutup.
Sebelum pulang, tuan rumah memberikan sedekah kepada Tuanku sebagai bentuk amal jariyah, serta membekali Tuanku dengan paket Sambareh untuk dibawa pulang.
Sambareh adalah serabi khas Minangkabau yang memiliki tekstur lembut dan aroma khas. Makanan ini tidak dimakan begitu saja, melainkan disajikan dengan kuah manis yang terbuat dari gula aren (saka).
Tepung beras, tepung ketan, ragi (fermi), telur, santan kental, santan encer, gula pasir, dan garam.
Tradisi Mandoa Sambareh di bulan Rajab bukan sekadar ritual makan-makan. Masyarakat Padang Pariaman menganggap makanan ini sebagai simbol penghormatan terhadap datangnya bulan mulia dan pelaksanaan sunah Nabi untuk bersedekah.
Tradisi ini menjadi identitas budaya yang mempererat tali silaturahmi antar warga dan keluarga (menantu kepada mertua). Oleh karena itu, generasi muda diharapkan dapat terus melestarikan tradisi ini agar nilai-nilai luhur dan identitas budaya di Ulakan, Padang Pariaman, tidak hilang tergerus zaman.
Apa Itu Tradisi Mandoa Sambareh?
Sejarah dan Asal Usul Tradisi
Prosesi Pelaksanaan Mandoa Sambareh
1. Persiapan Makanan
2. Mengundang Tuanku
3. Pembacaan Doa Khusus
4. Menyampaikan “Kaba” (Niat)
5. Jamuan Makan
6. Pemberian Sedekah
Kuliner Sambareh, Resep Warisan Leluhur
Bahan dan Cara Membuat Sambareh
Bahan Utama
Cara Membuat:
Makna Sosial dan Pelestarian
Pelaksanaan tradisi ini biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Berikut adalah tahapan prosesi yang umum dilakukan oleh masyarakat Ulakan dan Padang Pariaman:
Tuan rumah terlebih dahulu membuat Sambareh dan menyiapkan hidangan makan besar (nasi dan sambal).
Warga akan mengundang seorang pemimpin agama yang disebut dengan gelar Tuanku untuk memimpin doa ke rumah.
Prosesi ini disebut Mandoa Sambareh Mula. Uniknya, Tuanku akan membacakan doa dari buku khusus yang memang diperuntukkan untuk doa dengan hidangan sambareh, bukan doa-doa umum biasa.
Sebelum doa dimulai, tuan rumah menyampaikan “kaba” atau hajatnya, seperti mendoakan arwah keluarga yang meninggal atau memohon kelancaran rezeki.
Setelah doa selesai, Tuanku akan disuguhi makan nasi terlebih dahulu. Setelah itu, barulah Sambareh dengan kuah gula aren disajikan sebagai hidangan penutup.
Sebelum pulang, tuan rumah memberikan sedekah kepada Tuanku sebagai bentuk amal jariyah, serta membekali Tuanku dengan paket Sambareh untuk dibawa pulang.
Prosesi Pelaksanaan Mandoa Sambareh
1. Persiapan Makanan
2. Mengundang Tuanku
3. Pembacaan Doa Khusus
4. Menyampaikan “Kaba” (Niat)
5. Jamuan Makan
6. Pemberian Sedekah
Sambareh adalah serabi khas Minangkabau yang memiliki tekstur lembut dan aroma khas. Makanan ini tidak dimakan begitu saja, melainkan disajikan dengan kuah manis yang terbuat dari gula aren (saka).
Tepung beras, tepung ketan, ragi (fermi), telur, santan kental, santan encer, gula pasir, dan garam.
Tradisi Mandoa Sambareh di bulan Rajab bukan sekadar ritual makan-makan. Masyarakat Padang Pariaman menganggap makanan ini sebagai simbol penghormatan terhadap datangnya bulan mulia dan pelaksanaan sunah Nabi untuk bersedekah.
Tradisi ini menjadi identitas budaya yang mempererat tali silaturahmi antar warga dan keluarga (menantu kepada mertua). Oleh karena itu, generasi muda diharapkan dapat terus melestarikan tradisi ini agar nilai-nilai luhur dan identitas budaya di Ulakan, Padang Pariaman, tidak hilang tergerus zaman.







