Poligami menjadi salah satu isu yang kerap memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Praktik ini tidak jarang menimbulkan persoalan dalam rumah tangga, terutama ketika dijalankan tanpa persetujuan atau sepengetahuan istri pertama. Bagaimana sebenarnya hukumnya?
Dilansir infoHikmah dari buku Hukum Perkawinan karya Tinuk Dwi Cahyani, secara etimologis poligami berasal dari bahasa Yunani, yakni apolus yang berarti banyak dan gamos yang berarti pasangan. Secara istilah, poligami dimaknai sebagai keadaan seseorang yang memiliki dua atau lebih pasangan.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), poligami sebagai sistem perkawinan yang memperbolehkan seseorang memiliki lebih dari satu istri atau suami. Dalam pemahaman umum, poligami sering diartikan sebagai praktik menikahi lebih dari satu perempuan.
Dalam kajian fikih Islam, poligami merujuk pada kondisi seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri dalam waktu bersamaan, dengan batas maksimal empat istri. Islam membolehkan praktik tersebut, namun Allah SWT menetapkan batasan jumlah sekaligus syarat yang harus dipenuhi. Seorang suami diwajibkan berlaku adil, baik secara lahir maupun batin. Apabila tidak mampu atau dikhawatirkan tidak bisa bersikap adil, maka dianjurkan cukup memiliki satu istri saja.
Dasar kebolehan poligami ditegaskan dalam Al-Qur’an melalui firman Allah SWT berikut:
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Artinya: “…Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.” (QS An-Nisa’: 3)
Berdasarkan ayat tersebut, para ulama sepakat hukum poligami adalah mubah atau boleh. Poligami bukanlah kewajiban dan juga tidak termasuk sunnah yang dianjurkan bagi setiap muslim.
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa poligami merupakan bentuk rukhshah atau keringanan, bukan perintah yang bersifat mutlak.
Dalam buku Hukum Perkawinan Bawah Tangan di Indonesia karya Sularso dijelaskan bahwa Islam memperbolehkan poligami hingga empat istri dengan syarat suami mampu berlaku adil, terutama dalam hal-hal lahiriah dan materi seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. Jika tidak mampu memenuhi keadilan tersebut, maka satu istri saja sudah dianggap cukup.
Dalam hadits dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang mempunyai istri lebih dari 2, lalu berat sebelah kepada salah satunya, maka kelak dia akan datang pada hari kiamat dengan salah satu bahunya miring.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah)
Merujuk pada buku Hukum Keluarga karya Dr. Misno, praktik poligami yang dilakukan melalui nikah di bawah tangan tanpa persetujuan istri pertama dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku.
Di Indonesia, aturan mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Islam, serta PP No. 10 Tahun 1983 bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa salah satu syarat utama bagi suami yang hendak berpoligami adalah adanya persetujuan dari istri.
Muklis Al`anam dalam bukunya 99 Tanya Jawab Hukum (Ulasan Singkat Permasalahan Hukum dan Solusinya) juga menegaskan bahwa poligami tanpa izin istri pertama tidak dibenarkan secara hukum dan dinilai cacat hukum. Hal ini mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa suami yang ingin beristri lebih dari satu wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan sesuai dengan domisili tempat tinggalnya.
Selanjutnya, pasal berikutnya menegaskan bahwa pengajuan permohonan ke Pengadilan tersebut harus disertai persetujuan dari istri atau para istri.
Dengan demikian, jika seorang suami menikah lebih dari satu tanpa izin istri pertama, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah menurut hukum negara Indonesia. Bahkan jika diawali dengan nikah siri dan kemudian diajukan isbat nikah, tetap diperlukan persetujuan istri pertama. Apabila izin tersebut tidak diberikan, maka nikah siri tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan zina.
Wallahu a’lam.







