Gereja HKBP Sudirman menjadi salah satu bangunan bersejarah yang menandai perjalanan awal jemaat Batak Protestan di Kota Medan. Meski kini berdiri di Jalan Jenderal Sudirman, keberadaan awal gereja ini ternyata tidak berada di lokasi tersebut.
Pengurus Gereja HKBP Sudirman, Amos, menjelaskan bahwa gereja ini pertama kali berdiri di Jalan Uskup Agung Pernanoto, yang pada masa kolonial dikenal sebagai Jalan Cokroaminoto. Lokasi tersebut menjadi titik awal keberadaan HKBP Medan Sudirman sebelum berpindah ke kawasan yang lebih strategis.
“Pertama sekali bukan di sini. Awalnya keberadaan HKBP Medan Sudirman itu di Jalan Uskup Agung,” ujar Amos.
Berdasarkan arsip Gereja HKBP Sudirman, pembangunan gereja di Jalan Uskup Agung Pernanoto dimulai pada 25 September 1927. Sementara itu, penahbisan gedung gereja atau diopo disahkan pada 20 Mei 1928, yang kemudian menjadi tonggak berdirinya HKBP Medan Sudirman
Seiring berjalannya waktu, jumlah jemaat terus bertambah. Kondisi tersebut mendorong gereja untuk berpindah ke lokasi yang lebih representatif. Beberapa tempat sempat dipertimbangkan, termasuk kawasan yang kini dikenal sebagai Hotel Tiara, sebelum akhirnya diputuskan membangun gereja di Jalan Jenderal Sudirman.
Pada masa awal berdiri, jemaat HKBP Sudirman berasal dari berbagai latar belakang profesi dan tersebar di sejumlah wilayah Kota Medan. Bahkan, pada periode awal, terdapat pula jemaat non-Batak, termasuk warga Belanda, yang turut beribadah di gereja ini.
Dari sisi arsitektur, bangunan HKBP Sudirman masih mempertahankan gaya kolonial Eropa dengan pengaruh Jerman. Hal ini tidak terlepas dari peran misionaris Jerman dalam sejarah awal HKBP, salah satunya Dr. J. Warneck, yang berperan dalam penugasan pendeta untuk melayani jemaat HKBP di Medan.
“Bangunannya memang bergaya Belanda-Jerman. Dari luar masih tetap dipertahankan,” kata Amos.
Meski bagian dalam gereja mengalami penyesuaian, seperti perubahan lantai dan dinding, struktur utama serta tampilan luar bangunan tetap dijaga. Saat ini, Gereja HKBP Sudirman telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Kota Medan, sehingga bentuk, posisi, dan gaya arsitekturnya tidak dapat diubah.
Dalam upaya pelestarian, pengurus gereja fokus pada perawatan bangunan tanpa mengubah karakter aslinya. Namun, dukungan pemerintah sejauh ini masih terbatas pada pengakuan status cagar budaya, tanpa bantuan khusus untuk perawatan fisik gereja.
Nilai persatuan, kekompakan jemaat, dan pelayanan menjadi prinsip yang terus dijaga sejak awal berdiri hingga kini. Peran generasi muda juga dinilai masih aktif dalam menjaga keberlangsungan gereja, baik melalui kegiatan ibadah maupun aktivitas sosial kemasyarakatan.
Sebagai gereja tua yang masih aktif digunakan, HKBP Sudirman tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga saksi sejarah perkembangan Kota Medan dan perjalanan jemaat Batak di ruang urban.
Artikel ini ditulis A. Fahri Perdana Lubis, peserta program Maganghub dari Kemnaker di infocom.







