Mengenal Tingkuluak, Mahkota Perempuan Minang yang Beragam Bentuknya

Posted on

Dalam kebudayaan Minangkabau busana tradisional bukan sekadar penutup tubuh, tapi juga cerminan identitas dan filosofi hidup. Salah satu elemen penting dalam busana adat perempuan Minang adalah tingkuluak, penutup kepala yang menjadi mahkota mereka.

Tingkuluak memiliki makna sendiri untuk perempuan Minang. Dalam busana adat masyarakat Minangkabau, tingkuluak punya beragam bentuk meski tidak terdapat perbedaan mencolok antara pakaian dari daerah Luhak maupun daerah Rantau.

Salah satu kekayaan budaya Minangkabau dapat dilihat dari pakaian adatnya yang khas, berkesan mewah, terbuat dari kain tenun, dan sering kali dihiasi dengan benang emas. Bagi perempuan Minang, penutup kepala menjadi bagian penting dari busana adat, ialah tingkuluak yang bentuknya menyerupai atap Rumah Gadang.

Disadur dari laman Provinsi Sumbar, tingkuluak atau tikuluak merupakan istilah dalam bahasa Minangkabau yang merujuk pada penutup kepala perempuan. Aksesori ini dibuat dari kain panjang yang dibentuk sedemikian rupa dan digunakan sesuai dengan peran serta fungsi pemakainya dalam adat istiadat Minangkabau.

Arzul, mahasiswa Sultan Idris Education Universiti Perak Darul Ridzuan Malaysia, membahas tingkuluak pada jurnal Character Building and Symbolic Values of Randai in Minangkabau. Dijelaskan bahwa tingkuluak merupakan penutup kepala khas yang biasa dikenakan oleh perempuan terhormat dalam masyarakat Minangkabau, seperti ibu rumah tangga (mandeh).

Perempuan yang menjadi sosok penyangga rumah (limpapeh), menjadi kebanggaan wanita Minang. Bagian atas tingkuluak yang meruncing melambangkan Rumah Gadang, simbol penting dari sistem matrilineal Minangkabau.

Rumah Gadang dianggap menjadi tempat tinggal perempuan sekaligus pusat berkumpulnya keluarga dari satu garis keturunan ibu. Selain itu, rumah ini juga menjadi tempat penyimpanan harta kekayaan milik keluarga.

Dalam struktur sosial Minangkabau, sosok bundo kanduang memiliki peran sentral sebagai perempuan yang dituakan di Rumah Gadang. Ia tidak hanya menjadi panutan dalam pendidikan anak, tetapi juga berperan penting dalam berbagai upacara adat.

Oleh karena itu, bundo kanduang mengenakan pakaian kebesaran saat upacara adat, salah satunya adalah salendang songket berbahan katun merah yang dihias benang emas dan bermotif khas seperti saik galamai, pucuak rabuang, serta biku-biku.

Salendang ini diselempangkan di bahu atau dijadikan tingkuluak sebagai simbol tanggung jawab yang diemban oleh bundo kanduang.

Pada buku Perempuan dan Modernitas oleh Selfi Mahat Putri, pada awal abad ke-20 tingkuluak sudah digunakan dan menjadi saksi bisu perjuangan perempuan Minang. Sekedar diketahui, orang Minang konon dikenal suka merantau sejak dulu.

Sering kali seorang istri yang ditinggal merantau oleh para suami tidak diberi uang dan bahkan suami tidak pernah ada kabar lagi. Berdagang dari pasar ke pasar menjadi pilihan yang mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada foto yang terlampir, dijelaskan dalam buku tersebut bagaimana kehidupan perempuan Minangkabau tradisional pada tahun sekitar 1911 yang sedang melakukan kegiatan ekonomi. Mereka menggunakan baju kuruang dan tingkuluak dengan membawa katidiang sebagai tempat barang dagangannya yang ditutupi oleh kain.

Biasanya mereka menjual hasil bumi dan usaha rumah tangga yang dilakukan dalam jumlah kecil, modal kecil sehingga keuntungan yang di dapatpun juga kecil. Barang dagangan tersebut berupa tenunan, kain katun lokal, sarung biru dan merah dengan kotak-kotak seperti kain bugis.

Selain itu, mereka juga membawa beras dalam kantung-kantung kecil, buah-buahan, daun kopi, dan jajanan yang mereka buat sendiri. Padang Panjang, Bukittinggi dan Payakumbuh adalah beberapa pasar yang selalu ramai dikunjungi oleh para pedagang.

Secara umum, tingkuluak memiliki variasi bentuk dan jenis kain. Namun beda dan makna tiap tingkuluak tak begitu jauh.

Bentuk persegi panjang pada tingkuluak misalnya, melambangkan musyawarah yang adil serta mengisyaratkan kedudukan bundo kanduang sebagai ‘limpapeh rumah nan gadang’. Kedudukannya sama dengan datuak atau penghulu.

Terakhir, ujung kain sebelah kanan melambangkan bundo kanduang diharapkan selalu berbuat hal yang baik, seperti tangan kanan.

Dengan segala variasinya, tingkuluak bukan sekadar penutup kepala. Ialah juga sebagai simbol status, peran sosial, serta nilai budaya yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Minangkabau.

Simak berikut penjelasannya, dirangkum dari buku Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatra Barat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, laman Pemprov Sumbar, dan laman Museum Adityawarman:

1. Tingkuluak Tanduak

Seorang wanita yang telah diangkat sebagai bundo kanduang pada upacara-upacara adat, akan menutup kepalanya dengan tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek. Tengkuluk ini bahan dasarnya adalah kain balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang.

Salah satu bentuk yang paling dikenal adalah tingkuluak tanduak, yang menyerupai tanduk kerbau dengan dua sisi meruncing di kiri dan kanan. Biasanya, tingkuluak jenis ini digunakan dalam tarian adat atau oleh pengiring pengantin dalam pernikahan.

Bentuk tengkuluk ini seperti tanduk kerbau yang kedua jungnya runcing ditutup dengan yang sebelah kiri, sedangkan ujung sebelah kanan dibiarkan jatuh di atas bahu. Kedua ujung tengkuluk ini pakai rumbai yang terbuat dari emas atau loyang sepuhan.

Sedangkan bagian atas kepala berbentuk datar. Dalam pertunjukan randai, tingkuluak tanduak menjadi simbol kuat yang mencerminkan peran serta tanggung jawab perempuan Minang dalam rumah tangga.

Sebagai seorang mandeh, perempuan memegang peran penting dalam mengurus pendidikan anak, mengelola warisan, memenuhi kebutuhan keluarga, hingga menjaga kekayaan bersama.

Bagian atas tingkuluak yang datar dan melebar menggambarkan sikap adil dan tidak memihak, sebuah sifat yang harus dimiliki oleh limpapeh dalam mengambil keputusan keluarga.

2. Tingkuluak Bundo Kanduang

Ada juga tingkuluak Bundo Kanduang yang berbentuk melingkar dan biasa dipakai oleh perempuan dewasa yang telah menikah dalam upacara resmi adat.

3. Tingkuluak Koto Gadang

Variasi lainnya adalah tingkuluak Koto Gadang yang digunakan oleh pengantin perempuan. Bentuknya lebih sederhana seperti selendang, dihiasi sulaman dan manik-manik, mencerminkan gaya khas dari daerah Koto Gadang.

Tingkuluak Koto Gadang, yang juga digunakan dalam upacara pernikahan, terbuat dari kain beludru dan tampil megah berkat warna keemasan atau keperakan. Penampilan pengantin perempuan makin lengkap dengan aksesori seperti kalung cakiek, kalung dukuah, serta berbagai jenis gelang emas dan marjan.

4. Tingkuluak Balapak Sungayang

Salah satu jenis tingkuluak yang memiliki ciri khas tersendiri adalah Tingkuluak Balapak Sungayang. Penutup kepala ini berasal dari Nagari Sungayang, Tanah Datar, dan dibuat dari kain songket berwarna coklat kemerahan yang dihiasi benang emas.

Tingkuluak ini memiliki bentuk menyerupai gonjong Rumah Gadang, dengan bagian atas persegi panjang dan ujung kanan kain dibiarkan terurai. Penggunaannya tidak sembarangan, hanya perempuan Sungayang yang sudah menikah dan memiliki garis keturunan Datuak atau istri dari Penghulu yang berhak memakainya.

Selain dalam pernikahan sederhana tanpa penyembelihan sapi, tingkuluak ini juga digunakan dalam upacara adat seperti manjalang mintuo, sunatan, dan batagak panghulu. Bentuk tingkuluaknya sendiri melambangkan musyawarah, sikap tenang bundo kanduang, dan peran pentingnya dalam adat.

Motifnya mengambil inspirasi dari flora seperti biteh kaluak, fauna seperti ulek tantadu, dan bentuk geometris seperti motif kali-kali dan barantai merah.

5. Tingkuluak Batik Baikek

Selain itu, terdapat juga tingkuluak batik baikek dari Payakumbuh yang terbuat dari kain batik panjang berbahan katun dengan warna dasar oranye. Motifnya dibuat menggunakan teknik batik tulis dan menampilkan rangkaian bunga serta bentuk segi empat.

Tingkuluak ini biasa digunakan oleh ibu-ibu berusia 50 tahun ke atas dalam acara balambang urek sebagai bagian dari undangan adat.

6. Tingkuluak Kompong

Tengkuluk wanita muda di daerah Payakumbuh dinamakan tingkuluak kompong atau basipek. Menggunakan kain batik atau songket, penataan tengkuluk basipek dengan melilitkan pada kening, kemudian kedua ujungnya dilipatkan ke belakang, sehingga kelihatan pada bagian muka agak meninggi.

Tengkuluk ini berfungsi religius dan melambangkan bahwa pemakainya adalah seorang yang taat menjalankan syariat agama dan adat istiadat Minangkabau. Tingkuluak kompong dipakai oleh perempuan semua umur dan berfungsi untuk menanti tamu, dilengkapi selendang batik, baju kuruang basiba, dan saruang batiak.

7. Tingkuluak Tanah Liat

Wanita Minangkabau kerap pergi menyirih. Sirih melambangkan basa-basi orang Minangkabau, yang dapat dikatakan sebagai pembuka kata saat hendak mengundang orang untuk suatu kenduri.

Mereka akan pergi dengan membawa sirih secukupnya, gambir, kapur, pinang dan tembakau untuk disusun ke dalam sebuah cerana yang dibungkus dan ditutup dengan lelamak.

Wanita yang pergi menyirih, biasanya memakai kain sandang yang berbahan kain balapak pakai jumbai alai. Kain balapak yang dijahit dengan benang emas ini mempunyai motif pucuk rebung.

Di daerah Lintau Kabupaten Tanah Datar lah pakaian adat dipakai oleh wanita untuk menyirih. Tengkuluk yang dipakai wanita pergi menyirih dinamakan tengkuluk tanah liat.

Bentuknya seperti tanah liat, ditutupkan atau dengan dililit ke kepala dengan ujungnya lepas ke belakang. Tengkuluk ini berfungsi relegius dan estetis oleh pemakainya.

Nah, itulah tadi penjelasan tentang tingkuluak dan ragamnya. Unik ya? Semoga menambah pengetahuanmu!

Mengenal Tingkuluak

Makna Tingkuluak

7 Ragam Tingkuluak

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *