Delima Silalahi mendapatkan paket berisi bangkai burung yang dikirim ke rumahya di Desa Parik Sabungan, Kecamatan Siborong-borong.Kabupaten Tapanuli Utara (Taput). Aktivis yang kerap menyuarakan agar PT Toba Pulp Lestari (TPL) ditutup menganggap pengiriman paket tersebut sebagai bentuk terror.
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu, mengatakan paket kardus kecil tersebut diletakkan di meja perpustakaan yang berada di areal rumah Delima. Paket tersebut baru diketahui Delima pagi tadi.
“Itu ditujukan ke Delima Silalahi, tapi sudah terletak di meja perpustakaannya. Jadi, tidak ada yang menerima secara langsung,” kata Rocky saat dikonfirmasi infoSumut, Jumat (30/5/2025).
Ia menduga paket berisi bangkai burung itu diantar malam-malam dan diletakkan di meja perpustakaan. Rocky mengatakan paket itu awalnya diketahui oleh seseorang yang bekerja di rumah Delima.
Mendapatkan informasi adanya kiriman paket, Delima merasa bingung arena merasa tidak memesan barang apapun. Rocky menyebut Delima sempat menanyakan soal paket itu kepada suami dan anaknya, tetapi mereka juga mengaku tidak memesan barang apapun.
Lalu, Delima memutuskan untuk membuka paket itu. Setelah dibuka, Delima langsung kaget melihat ada bangkai burung yang masih berdarah di dalam kotak tersebut.
“Dibuka lah, ternyata isinya itu burung mati dan sudah berlumuran darah di atas tisu. Nggak sampai terpisah kepalanya, hanya disayat dan mati,” sebutnya.
Dia menyebut tidak ada detail pengirim yang tercantum dalam kotak paket tersebut dan hanya bertuliskan “kepada Delima”. Setelah kejadian itu, Rocky mengaku menjadi orang yang pertama kali dihubungi oleh Delima. Usai mendapatkan kabar itu, Rocky langsung menuju rumah Delima.
Rocky menyebut Delima cukup syok dengan kejadian ini. Alhasil, Delima memutuskan untuk langsung membakar burung tersebut.
“Nggak tahu persis jenis burungnya, tapi kak Delima setelah mendapatkan itu syok, suaminya dan anaknya syok, akhirnya mereka langsung membakar supaya tidak menghantui mereka” jelasnya.
Bentuk Teror
Rocky menduga hal tersebut sudah direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Dia menduga pengiriman paket itu juga sebagai bentuk teror kepada mereka yang menyuarakan soal penutupan PT TPL.
Dia menyebut Delima merupakan aktivis lingkungan yang fokus menyuarakan agar PT TPL ditutup. Delima juga mantan direktur KSPPM yang juga berkali-kali melakukan demonstrasi untuk menutup TPL.
“Kami duga ini menjurus pada salah satu perusahaan yang kami advokasi sudah cukup lama, yaitu TPL. Akhir-akhir akhir ini khususnya sekitar 3 bulan ini, kami cukup gencar, bahkan beberapa pimpinan gereja di sini juga sudah terlibat untuk kampanye agar perusahaan ini segera ditutup. Kenapa ke kak Delima, mungkin karena dia sudah cukup lama jadi aktivis lingkungan dan sejak awal sudah menentang keberadaan perusahaan ini,” jelas Rocky.
“Jadi, kami menduga ini upaya pembungkaman dari mereka, upaya untuk menakut-nakuti supaya kami tidak bersuara. Ini teror sekaligus ancaman secara simbolik, bagi orang Batak itu kan burung melambangkan kebebasan, dia bisa terbang ke mana pun, jadi ini seperti pesan ‘kebebasanmu akan saya rampas’,” sambungnya.
Selengkapnya di Halaman Berikutnya…
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Rocky menyebut dugaan itu semakin diperkuat karena pada 26 Mei lalu, ada sejumlah warga yang mengaku buruh PT TPL melakukan aksi demo di Kabupaten Toba. Saat itu, massa aksi meminta agar Delima, Rocky dan seorang teman mereka bernama Roganda untuk ditangkap.
Aksi ini dilakukan sehari sebelum pihak KSPPM, masyarakat dan sejumlah aliansi lainnya menggelar demonstrasi di Pemkab Taput pasa 27 Mei 2025. Rocky mengaku Delima turut ikut dalam aksi tersebut.
“Semakin kuat dugaan ini karena tanggal 26 Mei lalu ada demonstrasi di Toba, mereka mengatasnamakan diri sebagai serikat buruh perusahaan ini, salah satu dari tuntutan mereka yang tertulis di spanduk itu tegas mengatakan supaya Delima, saya dan Roganda ditangkap. Ini hampir rangkaian yang tidak bisa tidak dikaitkan, dan di beberapa media yang pro ke perusahaan itu memang gencar mengatakan KSPPM itu adalah LSM yang harus diusir dan sampai menyebutkan nama-nama secara personal, termasuk Delima dan saya sendiri,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, ratusan warga yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL melakukan aksi demonstrasi di kantor Bupati-DPRD Taput dengan tuntutan agar PT TPL segera ditutup.
“Ini kan akumulasi yang sudah dilakukan oleh TPL secara berlapis kepada masyarakat, sejak perusahaan ini sejak tahun 80-an sudah menuai kontroversi di awal bahkan di lokasi pembangunan pabriknya sekarang sudah menuai kontroversi karena di hulu sungai Asahan kan,” kata Rocky Pasaribu, Rabu (28/5).
“Makanya tahun 90-an itu sempat tutup karena ada gerakan yang cukup masif dari semua masyarakat adat di kawasan Danau Toba, tapi tahun 2003 mereka buka lagi dengan paradigma baru tertentu, dari pengamatan kami sejak bernama Indo Rayon sampai TPL itu tidak ada berubah justru semakin parah semakin ke sini,” imbuhnya.
TPL dinilai merupakan perusahaan yang merusak lingkungan sejak dulu hingga sekarang. Hanya berbeda lokasi saja. Persoalan perampasan tanah juga disebut semakin lama semakin marak terjadi. TPL dinilai melakukan pelanggaran hukum.
“Perampasan tanah itu semakin tahun semakin marak terjadi walaupun mereka selalu berdalih kalau mereka secara legal mendapatkan hak konsesi itu dari negara, tapi prakteknya di lapangan sebenarnya mereka juga cukup banyak melakukan pelanggaran hukum setelah mendapatkan konsesi dari negara,” ujarnya.
“Semua daerah-daerah aliran sungai baik itu anak sungai, baik itu sungai besar sekarang kondisinya sangat memprihatinkan bahkan banyak yang sekarang tidak bisa berfungsi lagi karena ditimbun dan diganti menjadi lokasi penanaman pohon Eukaliptus mereka,” ucapnya.
Menanggapi soal desakan tutup TPL, Corporate Communication Head TPL Salomo Sitohang menyebutkan jika pihaknya selama 30 tahun berkomitmen membangun komunikasi dengan masyarakat. Komunikasi itu disebut menyentuh semua lapisan.
“PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun dan berkomitmen membangun komunikasi terbuka dengan masyarakat. Melalui berbagai dialog, sosialisasi, dan program kemitraan yang telah kami lakukan bersama pemerintah, masyarakat hukum adat, tokoh agama, tokoh pemuda, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat sebagai bagian dari pendekatan sosial yang inklusif,” sebut Salomo Sitohang.
Salomo menolak tuduhan jika TPL menyebabkan bencana ekologi. Sebab menurutnya seluruh kegiatan sudah sesuai dengan standar operasional.