Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bersama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menetapkan tema Natal 2025: “Allah Datang Menyelamatkan Keluarga” (Mat. 1:21-24). Tema ini menegaskan bahwa karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus tidak dimulai dari ruang publik yang luas, melainkan dari ruang paling dasar dan intim dalam kehidupan manusia: keluarga. Di sanalah kasih, pengharapan, dan iman pertama-tama dihidupi dan diwariskan. Secara teologis, penekanan ini menempatkan keluarga sebagai “gereja mini”, wajah paling konkret dari persekutuan umat beriman. Natal tidak hanya dipahami sebagai peristiwa liturgis tahunan, tetapi sebagai undangan untuk menghidupi keselamatan dalam relasi sehari-hari, antara orang tua dan anak, suami dan istri, serta antaranggota keluarga yang saling menopang. Namun, makna keselamatan keluarga menjadi jauh lebih mendesak ketika dibaca dalam konteks krisis yang sedang melanda banyak wilayah di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Berulangnya bencana ekologis seperti banjir dan longsor menunjukkan bahwa keluarga-keluarga Indonesia hidup dalam situasi rapuh, bukan semata karena persoalan moral atau spiritual, melainkan juga karena rusaknya relasi manusia dengan alam.
Dalam terang ini, keselamatan yang dibawa oleh Kristus tidak dapat dipersempit hanya pada ranah batiniah atau privat. Injil Matius menyaksikan bahwa Yesus datang “untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Dosa di sini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga struktural, terlihat dalam sistem ekonomi dan kebijakan yang merusak tatanan kehidupan bersama, termasuk eksploitasi alam secara masif. Jika dosa dipahami sebagai kerusakan relasi, dengan Allah, dengan sesama, dan dengan alam, maka keselamatan harus dimaknai sebagai pemulihan relasi secara menyeluruh. Dalam perspektif biblis, visi keselamatan itu sejalan dengan gambaran Kejadian 2, ketika manusia ditempatkan di taman untuk mengusahakan dan memeliharanya, bukan menguras dan menghancurkannya.
Di Sumatera Utara, krisis ekologis yang berkaitan dengan deforestasi dan konflik agraria, termasuk yang melibatkan PT Toba Pulp Lestari (TPL), menghadirkan pertanyaan serius bagi iman Kristen. Bagaimana mungkin keluarga dapat hidup aman dan bermartabat ketika hutan sebagai penyangga kehidupan rusak, air tercemar, dan ruang hidup menyempit? Dalam kondisi seperti ini, keselamatan keluarga tidak dapat dipisahkan dari keselamatan ekosistem tempat mereka bergantung. Karena itu, perayaan Natal dipanggil untuk melampaui refleksi yang bersifat personal dan sentimental. Natal perlu dihidupi sebagai sikap profetik di ruang publik, keberanian iman untuk bersuara, membela kehidupan, dan merawat ciptaan. Tema Natal 2025 mengajak gereja-gereja untuk melihat keluarga bukan hanya sebagai unit sosial, tetapi sebagai bagian dari keluarga besar ciptaan Allah. Dengan demikian, “Allah datang menyelamatkan keluarga” berarti Allah memulihkan kehidupan secara utuh: manusia dan alam, rumah tangga dan tanah tempat berpijak. Di sinilah Natal menemukan relevansinya yang paling nyata, ketika iman diterjemahkan menjadi tanggung jawab etis bagi keberlanjutan hidup bersama.
Injil Matius mencatat pesan malaikat kepada Yusuf tentang anak yang akan lahir dari Maria: “Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Nama Yesus, dari bahasa Ibrani Yeshua, berarti “Tuhan menyelamatkan”. Sejak awal, Natal dipahami sebagai peristiwa penyelamatan. Namun, dalam praktik iman sehari-hari, keselamatan kerap dipersempit menjadi urusan pertobatan pribadi dan pembaruan moral individual. Pemahaman ini tentu penting, tetapi tidak memadai untuk menjawab kenyataan sosial dan ekologis yang kita hadapi hari ini. Dosa tidak hanya hadir dalam bentuk kesalahan personal, melainkan juga terlembaga dalam sistem dan struktur yang merusak kehidupan bersama. Ketika praktik ekonomi dan kebijakan pembangunan disusun sedemikian rupa hingga menghancurkan hutan, mencemari air, dan menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya, di sanalah dosa mengambil wujud struktural. Ia tidak lagi hanya melukai individu, tetapi merusak jaringan relasi yang menopang kehidupan, baik relasi antarmanusia maupun relasi manusia dengan alam.
Dalam terang tema Natal PGI 2025, “Allah datang Menyelamatkan Keluarga”, keluarga dipahami sebagai ruang pertama tempat kasih Kristus dihidupi. Keluarga adalah wajah gereja yang paling kecil sekaligus paling nyata. Namun, keselamatan keluarga tidak mungkin dialami secara utuh jika lingkungan hidup tempat keluarga itu bertumbuh justru dirusak. Keluarga yang hidup di tengah banjir, longsor, atau konflik agraria tidak dapat menikmati keselamatan secara penuh, betapapun kuatnya kehidupan rohani di dalam rumah mereka. Karena itu, ketika Injil menyatakan bahwa Kristus datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa, makna keselamatan tersebut perlu dibaca secara lebih luas. Keselamatan mencakup pemulihan relasi yang rusak, termasuk relasi dengan alam ciptaan. Deforestasi masif dan konflik agraria, yang kerap berujung pada kekerasan terhadap masyarakat adat, bukan sekadar persoalan teknis pembangunan, melainkan persoalan iman. Kehancuran ekosistem adalah tanda bahwa relasi kosmik yang dikehendaki Allah sedang retak.
Pemahaman tentang keluarga pun tidak boleh berhenti pada ikatan darah semata. Keluarga inti hidup di tengah komunitas sosial, dan komunitas itu sepenuhnya bergantung pada alam sebagai ruang kehidupan bersama. Dengan kata lain, keluarga manusia selalu terikat pada keluarga yang lebih luas: masyarakat dan ciptaan. Inilah yang dapat disebut sebagai “keluarga kosmik”. Kitab Kejadian menegaskan keterikatan ini secara mendalam. Manusia (Adam) dibentuk dari tanah (adamah). Relasi manusia dengan tanah bukan sekadar relasi ekonomis, melainkan relasi eksistensial. Tanah bukan hanya sumber penghidupan, tetapi bagian dari identitas manusia itu sendiri. Karena itu, ketika tanah dirampas, hutan dihancurkan, dan ruang hidup masyarakat adat terancam, yang rusak bukan hanya ekosistem, melainkan juga martabat dan jiwa komunitas.
Kejadian 2 menghadirkan visi relasi yang utuh antara Allah, manusia, dan alam. Manusia ditempatkan di taman bukan untuk menaklukkannya, melainkan untuk “mengusahakan dan memelihara”. Kata ‘avad (mengusahakan) juga berarti melayani, sedangkan shamar (memelihara) berarti menjaga dan melindungi. Mandat ini menempatkan manusia bukan sebagai pemilik mutlak bumi, melainkan sebagai penjaga kehidupan. Kerja manusia atas alam seharusnya bersifat melayani kehidupan, bukan mengurasnya demi keuntungan sepihak. Dalam kerangka ini, model pembangunan yang bertumpu pada deforestasi masif dan praktik monokultur jelas bertentangan dengan mandat iman tersebut. Eksploitasi alam yang tak terkendali bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga persoalan spiritual. Ia merusak kesatuan eksistensial antara manusia dan ciptaan. Ketika bumi terluka, manusia pun ikut terluka.
Tradisi kenabian Alkitab selalu mengaitkan jeritan bumi dengan jeritan orang miskin. Krisis ekologis hampir selalu berdampak paling berat pada kelompok yang paling rentan: masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas yang hidupnya bergantung langsung pada alam. Dalam konteks Sumatera Utara, konflik agraria yang berkaitan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) memperlihatkan dengan jelas keterkaitan antara perusakan lingkungan dan penderitaan sosial. Deforestasi dan monokultur bukan sekadar persoalan kehutanan, melainkan bentuk kekerasan ekologis yang memicu hilangnya ruang hidup, meningkatnya kemiskinan, dan konflik berkepanjangan. Bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara pada akhir November 2025 menjadi pengingat yang pahit. Data pemerintah daerah mencatat korban jiwa, ratusan warga terluka dan mengungsi, kerusakan infrastruktur dan permukiman, serta kerugian material yang mencapai ratusan miliar rupiah. Bencana ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan akumulasi panjang dari kerusakan ekologis dan kegagalan tata kelola lingkungan. Dalam situasi seperti ini, keselamatan tidak mungkin dipersempit menjadi ketenangan batin atau janji akhirat semata.
Natal, dengan demikian, mengajak gereja untuk memperluas cara pandangnya: dari perhatian pada rumah tangga pribadi menuju kepedulian terhadap “rumah bersama” tempat seluruh keluarga manusia dan ciptaan hidup. Keselamatan yang dibawa Kristus adalah keselamatan yang memulihkan keutuhan relasi, di dalam keluarga, di tengah masyarakat, dan dalam seluruh ciptaan. Allah yang datang menyelamatkan keluarga adalah Allah yang berpihak pada kehidupan: kehidupan manusia, kehidupan komunitas, dan kehidupan alam. Di sinilah Natal menemukan daya gugahnya bagi konteks Indonesia hari ini. Gereja dipanggil untuk mewujudkan keselamatan itu bukan hanya dalam doa dan perayaan, tetapi juga dalam keberanian etis untuk merawat bumi dan membela mereka yang hidupnya paling terdampak oleh kerusakan lingkungan. Keselamatan sejati adalah keutuhan relasi kosmik, tanda nyata kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia yang terluka.
Selama lebih dari tiga dekade, keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara tidak pernah lepas dari kontroversi. Sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utama, perusahaan ini telah memicu penolakan luas dari masyarakat di wilayah Tano Batak. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Jejak deforestasi dan konflik agraria yang menyertai operasional perusahaan telah berlangsung sejak awal pendiriannya dan terus berulang hingga hari ini. Dengan luas konsesi mencapai sekitar 167.000 hektare yang tersebar di 12 kabupaten/kota, aktivitas industri bubur kertas berbasis monokultur Eucalyptus telah mengubah wajah bentang alam Sumatera Utara secara drastis. Model produksi semacam ini mengandalkan penyeragaman vegetasi dan eksploitasi intensif, yang secara ekologis rentan merusak keseimbangan lingkungan.
Dalam perspektif iman, praktik semacam ini bertentangan dengan mandat biblis untuk “mengusahakan dan memelihara” bumi. Mengolah alam tanpa merawatnya berarti menggeser kerja manusia dari pelayanan kehidupan menuju eksploitasi semata. Mandat untuk menjaga keutuhan ciptaan; yang dalam tradisi teologis disebut sebagai tanggung jawab shamar; menjadi terabaikan. Dampak paling nyata dari praktik tersebut dirasakan oleh masyarakat adat yang hidup dan bergantung pada tanah mereka. Di berbagai wilayah Tano Batak, konflik lahan antara TPL dan komunitas adat; termasuk di Sihaporas dan Dolok Parmonangan; telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang adil dan bermartabat.
Salah satu peristiwa yang menyita perhatian publik terjadi pada September 2025 di wilayah Sihaporas. Insiden kekerasan yang dilaporkan terjadi di Ladang Buntu Panaturan mengakibatkan puluhan warga menjadi korban. Perempuan, laki-laki, bahkan penyandang disabilitas mengalami luka fisik dan trauma, sementara rumah dan fasilitas warga dirusak. Peristiwa ini memperlihatkan dengan jelas bahwa kekerasan terhadap alam hampir selalu berujung pada kekerasan terhadap manusia. Ketika tanah sebagai ruang hidup dirampas atau dirusak, keluarga manusia kehilangan rasa aman, martabat, dan masa depan. Konflik ekologis dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari krisis kemanusiaan. Pembiaran yang berlarut-larut terhadap konflik semacam ini menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam melindungi hak-hak masyarakat adat. Ketika negara tidak hadir secara tegas, kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga menjadi siklus yang terus berulang. Dalam terang tema Natal 2025, yang menempatkan keselamatan keluarga sebagai inti iman, realitas ini menjadi ironi yang menyakitkan.
Selain konflik sosial, dampak ekologis dari operasional TPL juga terlihat dalam meningkatnya kerentanan bencana di berbagai wilayah Sumatera Utara. Berbagai kajian menunjukkan adanya keterkaitan antara kawasan konsesi perusahaan dan daerah yang kerap mengalami banjir serta longsor. Persoalan menjadi semakin serius ketika sebagian wilayah konsesi diketahui tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain. Penanaman Eucalyptus di wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan dan penyangga ekosistem, termasuk di kawasan sekitar Danau Toba, secara langsung mengurangi daya dukung lingkungan.
Akibatnya, bencana ekologis berulang terjadi: longsor di Sihotang pada 2023, tragedi di Simangulampe yang menewaskan belasan orang, hingga peristiwa di Parapat pada 2025. Bahkan ini memuncak pada banjir bandang yang terjadi akhir November 2025 yang menimbulkan luka baru bagi keluarga kosmik. Laporan kepolisian daerah pada 29 November mencatat bahwa sejak 24-29 November tercatat 488 kejadian bencana di wilayah Sumut; hingga pukul 09.00 WIB tercatat 1.076 korban (147 meninggal dunia, 32 luka berat, 722 luka ringan, dan 174 masih dalam pencarian) serta 28.427 pengungsi di provinsi ini. Angka ini menggambarkan betapa cepatnya sebuah kejadian alam berubah menjadi krisis kemanusiaan.
Angka-angka resmi yang terus diperbarui menunjukkan variasi seiring masuknya data lapangan. Per 11 Desember 2025, penghitungan gabungan lintas lembaga yang dilaporkan media analitik menunjuk kepada angka yang lebih tinggi untuk Sumatera Utara: sekitar 340 orang meninggal dan 128 orang hilang akibat rangkaian banjir dan longsor di provinsi ini (data BNPB/kompilasi per 11 Desember). Angka-angka ini memperlihatkan betapa skala kerusakan terus bertambah seiring masih berlangsungnya proses pencarian, evakuasi, dan pendataan. Dari sisi dampak ekonomi dan sosial, provinsi ini turut menanggung beban besar. Data pemda dan laporan lokal melaporkan puluhan ribu keluarga terdampak; misalnya ada laporan yang menyebut 420.631 kepala keluarga (±1,58 juta jiwa) terdampak dan lebih dari 45.000 jiwa yang mengungsi; serta korban meninggal yang dilaporkan mencapai ratusan jiwa. Estimasi kerugian ekonomi untuk Sumatera Utara yang dikomunikasikan pejabat setempat dan dilaporkan media lokal mencapai Rp 9,98 triliun.
Jika kita melihat gambaran yang lebih luas untuk seluruh pulau Sumatra, kerugian ekonomi dan jumlah korban yang dikompilasi lintas-provinsi jauh lebih besar: sejumlah publikasi dan analisis media mengutip estimasi kerugian ratusan triliun rupiah dan korban jiwa yang mencapai ratusan hingga ribuan. Maka bila berangkat dari pemahaman Natal sebagai narasi , semua ini menunjukkan bahwa kerusakan terhadap ciptaan adalah kegagalan merawat “keluarga besar” yang dipercayakan Allah kepada manusia. Ketika mandat memelihara bumi dilanggar, yang runtuh bukan hanya hutan dan tanah, tetapi juga kehidupan keluarga manusia yang bergantung padanya.
Menghadapi krisis ekologis dan sosial yang dipicu oleh operasi TPL di Tanah Batak, suara kenabian gereja-gereja di Indonesia semakin terdengar jelas. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) secara terbuka menyatakan keberpihakannya kepada perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak, seraya menegaskan bahwa dukungan terhadap masyarakat adat tidak cukup berhenti pada simpati moral, melainkan harus diwujudkan dalam pembelaan nyata atas hak-hak yang telah lama dirampas. Sikap ini menempatkan gereja bukan sekadar sebagai penonton krisis, melainkan sebagai bagian dari suara hati publik yang menuntut keadilan ekologis dan sosial.
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) melangkah lebih jauh dengan menyatakan sikap yang tegas dan profetik. Pimpinan HKBP secara terbuka menyerukan agar operasi TPL dihentikan demi melindungi kehidupan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan. Pendeta Victor Tinambunan menegaskan bahwa konflik berkepanjangan ini telah berkembang menjadi krisis sosial dan ekologis yang serius, sehingga tidak dapat lagi ditoleransi. Sikap profetik ini bahkan diwujudkan melalui penolakan etis terhadap bantuan bencana yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perusakan lingkungan. Penolakan tersebut bukan sekadar simbol, melainkan pernyataan moral yang kuat: legitimasi sosial dan spiritual sebuah korporasi tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawabnya terhadap keutuhan ciptaan dan keadilan bagi manusia.
Komitmen HKBP tidak berhenti pada kritik, tetapi juga menawarkan visi pemulihan yang konkret. Menyusul penghentian sementara operasional TPL oleh pemerintah, gereja menyatakan kesiapan untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang dimilikinya; warga jemaat, pelayan, dan lembaga; guna melakukan reboisasi masif di wilayah bekas konsesi. Visi ini secara mendasar berseberangan dengan model industri monokultur yang selama ini diterapkan. Yang hendak dibangun bukanlah kembali kawasan industri, melainkan hutan penyangga ekosistem yang hidup, beragam, dan berfungsi menjaga air serta tanah. Di sini tampak kontras yang tajam: di satu sisi, logika monokultur Eucalyptus yang berorientasi pada keuntungan tunggal; di sisi lain, komitmen iman untuk memulihkan integritas ciptaan secara holistik, sebagaimana mandat pemeliharaan dalam Kejadian 2.
Tekanan publik yang semakin kuat, termasuk dari lembaga-lembaga keagamaan, akhirnya beresonansi di ruang politik dan hukum. Sejumlah DPRD daerah, termasuk DPRD Samosir, secara terbuka menolak keberlanjutan aktivitas TPL setelah ditemukan adanya persoalan legalitas konsesi. Penghentian sementara operasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menjadi penanda penting bahwa kritik masyarakat sipil dan gereja bukan tanpa dasar. Lebih dari itu, situasi ini mengungkap kegagalan regulasi dan penegakan hukum yang telah berlangsung lama, sebuah bentuk dosa struktural yang dampaknya kini dirasakan secara luas melalui konflik agraria dan bencana ekologis yang berulang.
Tema Natal PGI 2025, “Allah datang Menyelamatkan Keluarga”, menantang gereja dan masyarakat untuk memahami keselamatan secara lebih luas. Keselamatan tidak berhenti pada lingkup keluarga inti, tetapi mencakup keluarga sosial; masyarakat adat yang kehilangan tanah dan martabatnya; serta keluarga kosmik, yakni seluruh ciptaan yang kini berada dalam ancaman. Karena itu, keselamatan sejati harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret: keadilan agraria yang mengembalikan tanah ulayat kepada pemiliknya, transisi menuju model ekonomi berkelanjutan yang berakar pada kearifan lokal, serta penguatan spiritualitas ekologis dalam kehidupan bergereja. Pengembalian tanah adat bukan sekadar penyelesaian hukum, melainkan tindakan pemulihan martabat manusia sebagai gambar Allah. Demikian pula, peralihan dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi kerakyatan yang dikelola secara berkelanjutan merupakan wujud pelayanan terhadap kehidupan, bukan eksploitasi atasnya. Praktik-praktik pengelolaan sumber daya oleh komunitas adat yang menjaga keseimbangan ekologi seharusnya menjadi rujukan utama arah pembangunan, bukan sekadar alternatif pinggiran.
Pada akhirnya, perayaan Natal kehilangan maknanya jika berhenti pada liturgi dan simbol. Natal sejati adalah gerakan pemulihan: rekonsiliasi relasi manusia dengan sesama, dengan tanah tempat ia berpijak, dan dengan seluruh ciptaan. Keselamatan yang dibawa Kristus adalah keselamatan yang utuh, yang memulihkan keluarga inti, menyembuhkan luka sosial masyarakat adat, dan mengembalikan Keluarga Kosmik di Tanah Batak menjadi ruang kehidupan yang lestari. Di sanalah gereja dipanggil hadir, bukan hanya sebagai pewarta iman, tetapi sebagai penjaga kehidupan.
Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematangsiantar dan Komisi Teologi PGI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi info.com
Memahami Konsep Keluarga Kosmos
Degradasi Keluarga Kosmos Melalui Deforestasi
Restorasi Ekologi sebagai Panggilan Keselamatan Allah atas Keluarga Kosmik
Injil Matius mencatat pesan malaikat kepada Yusuf tentang anak yang akan lahir dari Maria: “Engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Nama Yesus, dari bahasa Ibrani Yeshua, berarti “Tuhan menyelamatkan”. Sejak awal, Natal dipahami sebagai peristiwa penyelamatan. Namun, dalam praktik iman sehari-hari, keselamatan kerap dipersempit menjadi urusan pertobatan pribadi dan pembaruan moral individual. Pemahaman ini tentu penting, tetapi tidak memadai untuk menjawab kenyataan sosial dan ekologis yang kita hadapi hari ini. Dosa tidak hanya hadir dalam bentuk kesalahan personal, melainkan juga terlembaga dalam sistem dan struktur yang merusak kehidupan bersama. Ketika praktik ekonomi dan kebijakan pembangunan disusun sedemikian rupa hingga menghancurkan hutan, mencemari air, dan menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya, di sanalah dosa mengambil wujud struktural. Ia tidak lagi hanya melukai individu, tetapi merusak jaringan relasi yang menopang kehidupan, baik relasi antarmanusia maupun relasi manusia dengan alam.
Dalam terang tema Natal PGI 2025, “Allah datang Menyelamatkan Keluarga”, keluarga dipahami sebagai ruang pertama tempat kasih Kristus dihidupi. Keluarga adalah wajah gereja yang paling kecil sekaligus paling nyata. Namun, keselamatan keluarga tidak mungkin dialami secara utuh jika lingkungan hidup tempat keluarga itu bertumbuh justru dirusak. Keluarga yang hidup di tengah banjir, longsor, atau konflik agraria tidak dapat menikmati keselamatan secara penuh, betapapun kuatnya kehidupan rohani di dalam rumah mereka. Karena itu, ketika Injil menyatakan bahwa Kristus datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa, makna keselamatan tersebut perlu dibaca secara lebih luas. Keselamatan mencakup pemulihan relasi yang rusak, termasuk relasi dengan alam ciptaan. Deforestasi masif dan konflik agraria, yang kerap berujung pada kekerasan terhadap masyarakat adat, bukan sekadar persoalan teknis pembangunan, melainkan persoalan iman. Kehancuran ekosistem adalah tanda bahwa relasi kosmik yang dikehendaki Allah sedang retak.
Pemahaman tentang keluarga pun tidak boleh berhenti pada ikatan darah semata. Keluarga inti hidup di tengah komunitas sosial, dan komunitas itu sepenuhnya bergantung pada alam sebagai ruang kehidupan bersama. Dengan kata lain, keluarga manusia selalu terikat pada keluarga yang lebih luas: masyarakat dan ciptaan. Inilah yang dapat disebut sebagai “keluarga kosmik”. Kitab Kejadian menegaskan keterikatan ini secara mendalam. Manusia (Adam) dibentuk dari tanah (adamah). Relasi manusia dengan tanah bukan sekadar relasi ekonomis, melainkan relasi eksistensial. Tanah bukan hanya sumber penghidupan, tetapi bagian dari identitas manusia itu sendiri. Karena itu, ketika tanah dirampas, hutan dihancurkan, dan ruang hidup masyarakat adat terancam, yang rusak bukan hanya ekosistem, melainkan juga martabat dan jiwa komunitas.
Kejadian 2 menghadirkan visi relasi yang utuh antara Allah, manusia, dan alam. Manusia ditempatkan di taman bukan untuk menaklukkannya, melainkan untuk “mengusahakan dan memelihara”. Kata ‘avad (mengusahakan) juga berarti melayani, sedangkan shamar (memelihara) berarti menjaga dan melindungi. Mandat ini menempatkan manusia bukan sebagai pemilik mutlak bumi, melainkan sebagai penjaga kehidupan. Kerja manusia atas alam seharusnya bersifat melayani kehidupan, bukan mengurasnya demi keuntungan sepihak. Dalam kerangka ini, model pembangunan yang bertumpu pada deforestasi masif dan praktik monokultur jelas bertentangan dengan mandat iman tersebut. Eksploitasi alam yang tak terkendali bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga persoalan spiritual. Ia merusak kesatuan eksistensial antara manusia dan ciptaan. Ketika bumi terluka, manusia pun ikut terluka.
Tradisi kenabian Alkitab selalu mengaitkan jeritan bumi dengan jeritan orang miskin. Krisis ekologis hampir selalu berdampak paling berat pada kelompok yang paling rentan: masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas yang hidupnya bergantung langsung pada alam. Dalam konteks Sumatera Utara, konflik agraria yang berkaitan dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) memperlihatkan dengan jelas keterkaitan antara perusakan lingkungan dan penderitaan sosial. Deforestasi dan monokultur bukan sekadar persoalan kehutanan, melainkan bentuk kekerasan ekologis yang memicu hilangnya ruang hidup, meningkatnya kemiskinan, dan konflik berkepanjangan. Bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Utara pada akhir November 2025 menjadi pengingat yang pahit. Data pemerintah daerah mencatat korban jiwa, ratusan warga terluka dan mengungsi, kerusakan infrastruktur dan permukiman, serta kerugian material yang mencapai ratusan miliar rupiah. Bencana ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan akumulasi panjang dari kerusakan ekologis dan kegagalan tata kelola lingkungan. Dalam situasi seperti ini, keselamatan tidak mungkin dipersempit menjadi ketenangan batin atau janji akhirat semata.
Natal, dengan demikian, mengajak gereja untuk memperluas cara pandangnya: dari perhatian pada rumah tangga pribadi menuju kepedulian terhadap “rumah bersama” tempat seluruh keluarga manusia dan ciptaan hidup. Keselamatan yang dibawa Kristus adalah keselamatan yang memulihkan keutuhan relasi, di dalam keluarga, di tengah masyarakat, dan dalam seluruh ciptaan. Allah yang datang menyelamatkan keluarga adalah Allah yang berpihak pada kehidupan: kehidupan manusia, kehidupan komunitas, dan kehidupan alam. Di sinilah Natal menemukan daya gugahnya bagi konteks Indonesia hari ini. Gereja dipanggil untuk mewujudkan keselamatan itu bukan hanya dalam doa dan perayaan, tetapi juga dalam keberanian etis untuk merawat bumi dan membela mereka yang hidupnya paling terdampak oleh kerusakan lingkungan. Keselamatan sejati adalah keutuhan relasi kosmik, tanda nyata kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia yang terluka.
Memahami Konsep Keluarga Kosmos
Selama lebih dari tiga dekade, keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara tidak pernah lepas dari kontroversi. Sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utama, perusahaan ini telah memicu penolakan luas dari masyarakat di wilayah Tano Batak. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Jejak deforestasi dan konflik agraria yang menyertai operasional perusahaan telah berlangsung sejak awal pendiriannya dan terus berulang hingga hari ini. Dengan luas konsesi mencapai sekitar 167.000 hektare yang tersebar di 12 kabupaten/kota, aktivitas industri bubur kertas berbasis monokultur Eucalyptus telah mengubah wajah bentang alam Sumatera Utara secara drastis. Model produksi semacam ini mengandalkan penyeragaman vegetasi dan eksploitasi intensif, yang secara ekologis rentan merusak keseimbangan lingkungan.
Dalam perspektif iman, praktik semacam ini bertentangan dengan mandat biblis untuk “mengusahakan dan memelihara” bumi. Mengolah alam tanpa merawatnya berarti menggeser kerja manusia dari pelayanan kehidupan menuju eksploitasi semata. Mandat untuk menjaga keutuhan ciptaan; yang dalam tradisi teologis disebut sebagai tanggung jawab shamar; menjadi terabaikan. Dampak paling nyata dari praktik tersebut dirasakan oleh masyarakat adat yang hidup dan bergantung pada tanah mereka. Di berbagai wilayah Tano Batak, konflik lahan antara TPL dan komunitas adat; termasuk di Sihaporas dan Dolok Parmonangan; telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian yang adil dan bermartabat.
Salah satu peristiwa yang menyita perhatian publik terjadi pada September 2025 di wilayah Sihaporas. Insiden kekerasan yang dilaporkan terjadi di Ladang Buntu Panaturan mengakibatkan puluhan warga menjadi korban. Perempuan, laki-laki, bahkan penyandang disabilitas mengalami luka fisik dan trauma, sementara rumah dan fasilitas warga dirusak. Peristiwa ini memperlihatkan dengan jelas bahwa kekerasan terhadap alam hampir selalu berujung pada kekerasan terhadap manusia. Ketika tanah sebagai ruang hidup dirampas atau dirusak, keluarga manusia kehilangan rasa aman, martabat, dan masa depan. Konflik ekologis dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari krisis kemanusiaan. Pembiaran yang berlarut-larut terhadap konflik semacam ini menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam melindungi hak-hak masyarakat adat. Ketika negara tidak hadir secara tegas, kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga menjadi siklus yang terus berulang. Dalam terang tema Natal 2025, yang menempatkan keselamatan keluarga sebagai inti iman, realitas ini menjadi ironi yang menyakitkan.
Selain konflik sosial, dampak ekologis dari operasional TPL juga terlihat dalam meningkatnya kerentanan bencana di berbagai wilayah Sumatera Utara. Berbagai kajian menunjukkan adanya keterkaitan antara kawasan konsesi perusahaan dan daerah yang kerap mengalami banjir serta longsor. Persoalan menjadi semakin serius ketika sebagian wilayah konsesi diketahui tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung dan areal penggunaan lain. Penanaman Eucalyptus di wilayah yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan dan penyangga ekosistem, termasuk di kawasan sekitar Danau Toba, secara langsung mengurangi daya dukung lingkungan.
Akibatnya, bencana ekologis berulang terjadi: longsor di Sihotang pada 2023, tragedi di Simangulampe yang menewaskan belasan orang, hingga peristiwa di Parapat pada 2025. Bahkan ini memuncak pada banjir bandang yang terjadi akhir November 2025 yang menimbulkan luka baru bagi keluarga kosmik. Laporan kepolisian daerah pada 29 November mencatat bahwa sejak 24-29 November tercatat 488 kejadian bencana di wilayah Sumut; hingga pukul 09.00 WIB tercatat 1.076 korban (147 meninggal dunia, 32 luka berat, 722 luka ringan, dan 174 masih dalam pencarian) serta 28.427 pengungsi di provinsi ini. Angka ini menggambarkan betapa cepatnya sebuah kejadian alam berubah menjadi krisis kemanusiaan.
Angka-angka resmi yang terus diperbarui menunjukkan variasi seiring masuknya data lapangan. Per 11 Desember 2025, penghitungan gabungan lintas lembaga yang dilaporkan media analitik menunjuk kepada angka yang lebih tinggi untuk Sumatera Utara: sekitar 340 orang meninggal dan 128 orang hilang akibat rangkaian banjir dan longsor di provinsi ini (data BNPB/kompilasi per 11 Desember). Angka-angka ini memperlihatkan betapa skala kerusakan terus bertambah seiring masih berlangsungnya proses pencarian, evakuasi, dan pendataan. Dari sisi dampak ekonomi dan sosial, provinsi ini turut menanggung beban besar. Data pemda dan laporan lokal melaporkan puluhan ribu keluarga terdampak; misalnya ada laporan yang menyebut 420.631 kepala keluarga (±1,58 juta jiwa) terdampak dan lebih dari 45.000 jiwa yang mengungsi; serta korban meninggal yang dilaporkan mencapai ratusan jiwa. Estimasi kerugian ekonomi untuk Sumatera Utara yang dikomunikasikan pejabat setempat dan dilaporkan media lokal mencapai Rp 9,98 triliun.
Jika kita melihat gambaran yang lebih luas untuk seluruh pulau Sumatra, kerugian ekonomi dan jumlah korban yang dikompilasi lintas-provinsi jauh lebih besar: sejumlah publikasi dan analisis media mengutip estimasi kerugian ratusan triliun rupiah dan korban jiwa yang mencapai ratusan hingga ribuan. Maka bila berangkat dari pemahaman Natal sebagai narasi , semua ini menunjukkan bahwa kerusakan terhadap ciptaan adalah kegagalan merawat “keluarga besar” yang dipercayakan Allah kepada manusia. Ketika mandat memelihara bumi dilanggar, yang runtuh bukan hanya hutan dan tanah, tetapi juga kehidupan keluarga manusia yang bergantung padanya.
Degradasi Keluarga Kosmos Melalui Deforestasi
Menghadapi krisis ekologis dan sosial yang dipicu oleh operasi TPL di Tanah Batak, suara kenabian gereja-gereja di Indonesia semakin terdengar jelas. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) secara terbuka menyatakan keberpihakannya kepada perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak, seraya menegaskan bahwa dukungan terhadap masyarakat adat tidak cukup berhenti pada simpati moral, melainkan harus diwujudkan dalam pembelaan nyata atas hak-hak yang telah lama dirampas. Sikap ini menempatkan gereja bukan sekadar sebagai penonton krisis, melainkan sebagai bagian dari suara hati publik yang menuntut keadilan ekologis dan sosial.
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) melangkah lebih jauh dengan menyatakan sikap yang tegas dan profetik. Pimpinan HKBP secara terbuka menyerukan agar operasi TPL dihentikan demi melindungi kehidupan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan. Pendeta Victor Tinambunan menegaskan bahwa konflik berkepanjangan ini telah berkembang menjadi krisis sosial dan ekologis yang serius, sehingga tidak dapat lagi ditoleransi. Sikap profetik ini bahkan diwujudkan melalui penolakan etis terhadap bantuan bencana yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perusakan lingkungan. Penolakan tersebut bukan sekadar simbol, melainkan pernyataan moral yang kuat: legitimasi sosial dan spiritual sebuah korporasi tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawabnya terhadap keutuhan ciptaan dan keadilan bagi manusia.
Komitmen HKBP tidak berhenti pada kritik, tetapi juga menawarkan visi pemulihan yang konkret. Menyusul penghentian sementara operasional TPL oleh pemerintah, gereja menyatakan kesiapan untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang dimilikinya; warga jemaat, pelayan, dan lembaga; guna melakukan reboisasi masif di wilayah bekas konsesi. Visi ini secara mendasar berseberangan dengan model industri monokultur yang selama ini diterapkan. Yang hendak dibangun bukanlah kembali kawasan industri, melainkan hutan penyangga ekosistem yang hidup, beragam, dan berfungsi menjaga air serta tanah. Di sini tampak kontras yang tajam: di satu sisi, logika monokultur Eucalyptus yang berorientasi pada keuntungan tunggal; di sisi lain, komitmen iman untuk memulihkan integritas ciptaan secara holistik, sebagaimana mandat pemeliharaan dalam Kejadian 2.
Tekanan publik yang semakin kuat, termasuk dari lembaga-lembaga keagamaan, akhirnya beresonansi di ruang politik dan hukum. Sejumlah DPRD daerah, termasuk DPRD Samosir, secara terbuka menolak keberlanjutan aktivitas TPL setelah ditemukan adanya persoalan legalitas konsesi. Penghentian sementara operasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan menjadi penanda penting bahwa kritik masyarakat sipil dan gereja bukan tanpa dasar. Lebih dari itu, situasi ini mengungkap kegagalan regulasi dan penegakan hukum yang telah berlangsung lama, sebuah bentuk dosa struktural yang dampaknya kini dirasakan secara luas melalui konflik agraria dan bencana ekologis yang berulang.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Tema Natal PGI 2025, “Allah datang Menyelamatkan Keluarga”, menantang gereja dan masyarakat untuk memahami keselamatan secara lebih luas. Keselamatan tidak berhenti pada lingkup keluarga inti, tetapi mencakup keluarga sosial; masyarakat adat yang kehilangan tanah dan martabatnya; serta keluarga kosmik, yakni seluruh ciptaan yang kini berada dalam ancaman. Karena itu, keselamatan sejati harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret: keadilan agraria yang mengembalikan tanah ulayat kepada pemiliknya, transisi menuju model ekonomi berkelanjutan yang berakar pada kearifan lokal, serta penguatan spiritualitas ekologis dalam kehidupan bergereja. Pengembalian tanah adat bukan sekadar penyelesaian hukum, melainkan tindakan pemulihan martabat manusia sebagai gambar Allah. Demikian pula, peralihan dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi kerakyatan yang dikelola secara berkelanjutan merupakan wujud pelayanan terhadap kehidupan, bukan eksploitasi atasnya. Praktik-praktik pengelolaan sumber daya oleh komunitas adat yang menjaga keseimbangan ekologi seharusnya menjadi rujukan utama arah pembangunan, bukan sekadar alternatif pinggiran.
Pada akhirnya, perayaan Natal kehilangan maknanya jika berhenti pada liturgi dan simbol. Natal sejati adalah gerakan pemulihan: rekonsiliasi relasi manusia dengan sesama, dengan tanah tempat ia berpijak, dan dengan seluruh ciptaan. Keselamatan yang dibawa Kristus adalah keselamatan yang utuh, yang memulihkan keluarga inti, menyembuhkan luka sosial masyarakat adat, dan mengembalikan Keluarga Kosmik di Tanah Batak menjadi ruang kehidupan yang lestari. Di sanalah gereja dipanggil hadir, bukan hanya sebagai pewarta iman, tetapi sebagai penjaga kehidupan.
Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematangsiantar dan Komisi Teologi PGI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi info.com







