Provisi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dilanda bencana banjir dan longsor. Saat bencana melanda, kondisi darurat kerap membuat umat Islam sulit menjaga kebersihan pakaian untuk salat.
Baju yang terkena lumpur, air banjir, atau kotoran kerap tak bisa segera dicuci, sehingga muncul pertanyaan bolehkah salat dengan pakaian najis dan kotor saat terjadi bencana? Pertanyaan ini penting karena menyangkut sah tidaknya ibadah dalam situasi darurat.
Dalam Islam, kesucian pakaian menjadi salah satu syarat sah salat. Namun, syariat juga memberikan keringanan (rukhsah) ketika seseorang berada dalam keadaan terpaksa dan tidak memiliki pilihan lain.
Lalu, bagaimana hukum salat saat pakaian bernajis di kondisi bencana menurut Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama?
Dikutip infoHikmah dari buku Mengenal Allah Melalui Ibadah Shalat karya Sarjuni, kewajiban sholat tidak pernah gugur dalam apapun kondisinya. Bencana alam tidak menghapus kewajiban itu, tetapi justru menjadi momentum seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun syariat juga tidak membebani hamba di luar batas kemampuannya. Kewajiban sholat dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, salah satunya sebagaimana termaktub dalam surat An Nisa ayat 103,
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Artinya: “Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Dalam kondisi normal, Islam mengajarkan agar seorang muslim memperhatikan kebersihan dan kerapian dalam beribadah. Allah berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak Adam, pakailah pakaian indahmu setiap memasuki masjid.” (QS. Al-A’rāf: 31)
Ayat ini menjadi dasar bahwa sholat idealnya dilakukan dengan pakaian bersih dan layak. Namun ayat ini tidak berarti menuntut sesuatu yang mustahil, terutama ketika bencana melanda, seluruh pakaian terendam banjir, bercampur lumpur, atau tidak ada akses untuk mencuci.
Hadis tentang Kesucian dan Pengecualian dalam Kondisi Darurat
Dilansir dari laman Muhammadiyah, sholat tetap sah ketika dikerjakan dalam keadaan pakaian kotor jika kondisi darurat terjadi.
Rasulullah SAW bersabda,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak diterima salat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil korupsi.” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan pentingnya bersuci dalam sholat. Namun para ulama menegaskan: hadits ini berlaku ketika seseorang mampu menjaga kesucian. Ketika kondisi ekstrem membuat seseorang tidak mampu membersihkan pakaian, seperti banjir, lumpur, kehilangan pakaian layak pakai, maka makna hadits ini tidak diberlakukan secara kaku.
Dalam kaidah fikih, setiap perintah memiliki batas kemampuan. Jika ketidakmampuan itu nyata dan tidak dibuat-buat, maka kewajiban menjaga kesucian pakaian gugur sementara waktu.
Muhammadiyah dalam Fikih Kebencanaan menegaskan bahwa, sholat tetap wajib dilakukan meskipun pakaian tidak bisa dibersihkan dari najis.
Hal ini didasarkan pada kaidah fikih:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang asalnya terlarang.”
Dan juga kaidah yang sangat kuat:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
“Kesulitan melahirkan kemudahan.”
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Dalam suasana bencana, seseorang tidak hanya kekurangan pakaian bersih, tetapi juga tidak memiliki sarana mencuci, tidak ada air bersih, atau seluruh lingkungan dipenuhi lumpur kotor. Dalam kondisi seperti ini, syariat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi menuntut usaha sesuai kemampuan.
Bencana Tak Menggugurkan Syariat
Dalam kondisi normal, Islam mengajarkan agar seorang muslim memperhatikan kebersihan dan kerapian dalam beribadah. Allah berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak Adam, pakailah pakaian indahmu setiap memasuki masjid.” (QS. Al-A’rāf: 31)
Ayat ini menjadi dasar bahwa sholat idealnya dilakukan dengan pakaian bersih dan layak. Namun ayat ini tidak berarti menuntut sesuatu yang mustahil, terutama ketika bencana melanda, seluruh pakaian terendam banjir, bercampur lumpur, atau tidak ada akses untuk mencuci.
Hadis tentang Kesucian dan Pengecualian dalam Kondisi Darurat
Dilansir dari laman Muhammadiyah, sholat tetap sah ketika dikerjakan dalam keadaan pakaian kotor jika kondisi darurat terjadi.
Rasulullah SAW bersabda,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak diterima salat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil korupsi.” (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan pentingnya bersuci dalam sholat. Namun para ulama menegaskan: hadits ini berlaku ketika seseorang mampu menjaga kesucian. Ketika kondisi ekstrem membuat seseorang tidak mampu membersihkan pakaian, seperti banjir, lumpur, kehilangan pakaian layak pakai, maka makna hadits ini tidak diberlakukan secara kaku.
Dalam kaidah fikih, setiap perintah memiliki batas kemampuan. Jika ketidakmampuan itu nyata dan tidak dibuat-buat, maka kewajiban menjaga kesucian pakaian gugur sementara waktu.
Muhammadiyah dalam Fikih Kebencanaan menegaskan bahwa, sholat tetap wajib dilakukan meskipun pakaian tidak bisa dibersihkan dari najis.
Hal ini didasarkan pada kaidah fikih:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang asalnya terlarang.”
Dan juga kaidah yang sangat kuat:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
“Kesulitan melahirkan kemudahan.”
Dalam suasana bencana, seseorang tidak hanya kekurangan pakaian bersih, tetapi juga tidak memiliki sarana mencuci, tidak ada air bersih, atau seluruh lingkungan dipenuhi lumpur kotor. Dalam kondisi seperti ini, syariat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi menuntut usaha sesuai kemampuan.
