Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Sibolga merupakan dua dari beberapa daerah di Sumatera Utara (Sumut) yang paling terdampak bencana banjir dan longsor. Warga kedua daerah itu bahkan ada yang rela makan apa saja demi bertahan hidup.
Di Tapteng ada desa yang terisolir, sehingga warga di desa tersebut hanya bisa mengonsumsi buah durian untuk mengisi perut. Selain itu juga ada warga yang menyelamatkan diri ke hutan, dan selama terjebak di sana mereka hanya bisa makan biji buah nangka.
“Bahkan masyarakat di desa terisolir bertahan hidup dengan makan durian,” tulis Masinton Pasaribu di Instagram pribadinya yang dilihat, Selasa (2/12/2025). Tulisan sudah disesuaikan dengan EYD.
Hingga hari ke-8, kata Masinton, listrik belum menyala di Tapteng. Selain itu, ia mengatakan di Tapteng stok beras hingga gas elpiji menipis.
“Stok beras menipis, antrian panjang di pom bensin, stok gas elpiji menipis,” imbuhnya.
Masinton menuturkan hingga saat ini masih ada beberapa desa yang terisolir. Jenazah tertimbun material longsor juga disebut masih ada yang belum dievakuasi.
“Beberapa desa masih terisolir belum dapat ditembus via darat. Jenazah tertimbun longsor di beberapa desa belum dapat dievakuasi,” tuturnya politisi PDIP ini.
Sekitar 50 warga terjebak di hutan saat banjir yang terjadi di Tapteng. Selama di hutan, mereka bertahan hidup dengan memakan nangka yang masih muda.
Para warga tersebut terjebak di hutan sejak Selasa (25/11) dan baru dievakuasi secara mandiri pada Kamis (27/11).
Keluarga korban bernama Rosmawati Zebua mengatakan bahwa dari keterangan adiknya, sejak menyelamatkan diri ke hutan tersebut, keluarganya dan puluhan warga lainnya hanya bisa menahan lapar karena tidak ada makanan yang bisa dimakan. Banjir bandang yang tiba-tiba terjadi membuat mereka tidak sempat untuk membawa pasokan makanan.
“Kalau dari saat kejadian (Selasa) sampai besoknya (hari Rabu) nggak makan sama sekali,” kata Rosmawati, Selasa (2/12/2025).
Pada keesokan harinya, rasa lapar yang sudah tidak tertahan lagi membuat warga pun mencari tumbuhan yang bisa untuk dimakan. Saat itu, tumbuhan yang tersedia hanya nangka muda.
“Kata adik saya, mereka makan nangka muda yang besarnya sebiji kelereng, dipanggang, itulah mereka makan. Hanya itu yang ada di hutan itu. Minumnya nggak tahu lagi, mungkin air hujan itu, nggak ada di situ minum,” jelasnya.
Rosmawati sebelumnya mengatakan ada anak abangnya yang masih berusia tiga bulan turut diboyong saat menyelamatkan diri ke hutan itu. Setelah berhari-hari, bayi tersebut harus menahankan dinginnya di hutan. Setelah dievakuasi, kondisi bayi tersebut sempat memprihatinkan.
“Puji tuhan selamat, sudah sempat kritis, nggak nangis lagi, mungkin masuk angin, menyusui dari ibunya juga nggak ada karena nggak makan itu,” jelasnya.
Rosmawati mengatakan kabar bahwa orang tuanya telah dievakuasi itu baru diterima Rosmawati pada Minggu (30/11).
Untuk mendapatkan kabar tersebut, adiknya harus mencari jaringan hingga ke Kecamatan Pandan, karena jaringan telekomunikasi di wilayah tersebut masih putus.
“Mereka keluarnya itu hari Kamis katanya adik saya, baru bisa komunikasi dengan saya hari Minggu, adik saya nyari jaringan ke Pandan,” jelasnya.
Untuk bisa selamat dari hutan tersebut, adik laki-lakinya yang kini berusia 25 tahun, harus memberanikan diri untuk berenang menyeberangi sungai yang masih tinggi pada Kamis (27/11). Meski harus mempertaruhkan nyawa, aksi itu nekat dilakukan adiknya karena melihat kondisi para warga yang sudah kelaparan dan semakin memprihatinkan.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Adiknya berenang melewati sungai menuju Huta Bolon, Kecamatan Tukka. Setelah berhasil menyeberangi sungai dengan segala tantangan, adiknya mencari pertolongan dengan menemui beberapa keluarga dari warga yang terjebak di dalam hutan itu.
Rosmawati mengatakan ada sejumlah keluarga dari para warga yang terjebak itu, masih berada di perkampungan. Mereka sebelumnya terjebak seusai pulang bekerja, sehingga tidak bisa kembali ke desa.
“Adik saya memberanikan diri berenang untuk nyari bantuan ke seberang. Memang belum surut, tapi dia nyobain saja, karena nggak ada sama sekali yang tahu keadaan mereka di (hutan) sana kan. Dari di antara keluarga itu yang baru pulang kerja, kan ada terjebak saat kejadian di bawah, mereka tidak bisa kembali ke kampung. Jadi, itulah yang membantu mengevakuasi mereka dari hutan,” jelasnya.
Mereka mengevakuasi puluhan warga tersebut dengan alat seadanya. Mereka menyambung bambu yang ada di lokasi dan menggunakan tali untuk menjadi alat penyeberangan melewati sungai.
“Mereka menyambungkan bambu untuk evakuasi, nyambungin panjang. Mereka di atas kayu itu, mereka memegangi kayu buat bertahan,” kata Rosmawati.
Setelah berhasil dievakuasi, para warga pun mencari tempat untuk mengungsi. Sebagian mencari rumah kerabatnya yang bisa ditinggali, sedangkan sebagiannya memilih mengungsi ke tempat pengungsian yang disediakan pemerintah karena tidak ada sanak saudara yang hendak dituju. Sementara rumah mereka telah hancur diterjang banjir.
“Semua berpisah setelah mereka turun dari hutan itu, karena kan rumah sudah nggak ada sama sekali. Jadi, masing masih nyari keluarga yang masih ada untuk pengungsian. Ada katanya sebagian di GOR Pandan, ada sebagian yang masih ada rumah keluarga atau kerabatnya,” pungkasnya.
Bayi Usia 3 Bulan Berhari-hari Terjebak di Hutan
Warga Pertaruhkan Nyawa, Nekat Nyebrang Sungai
Sekitar 50 warga terjebak di hutan saat banjir yang terjadi di Tapteng. Selama di hutan, mereka bertahan hidup dengan memakan nangka yang masih muda.
Para warga tersebut terjebak di hutan sejak Selasa (25/11) dan baru dievakuasi secara mandiri pada Kamis (27/11).
Keluarga korban bernama Rosmawati Zebua mengatakan bahwa dari keterangan adiknya, sejak menyelamatkan diri ke hutan tersebut, keluarganya dan puluhan warga lainnya hanya bisa menahan lapar karena tidak ada makanan yang bisa dimakan. Banjir bandang yang tiba-tiba terjadi membuat mereka tidak sempat untuk membawa pasokan makanan.
“Kalau dari saat kejadian (Selasa) sampai besoknya (hari Rabu) nggak makan sama sekali,” kata Rosmawati, Selasa (2/12/2025).
Pada keesokan harinya, rasa lapar yang sudah tidak tertahan lagi membuat warga pun mencari tumbuhan yang bisa untuk dimakan. Saat itu, tumbuhan yang tersedia hanya nangka muda.
“Kata adik saya, mereka makan nangka muda yang besarnya sebiji kelereng, dipanggang, itulah mereka makan. Hanya itu yang ada di hutan itu. Minumnya nggak tahu lagi, mungkin air hujan itu, nggak ada di situ minum,” jelasnya.
Rosmawati sebelumnya mengatakan ada anak abangnya yang masih berusia tiga bulan turut diboyong saat menyelamatkan diri ke hutan itu. Setelah berhari-hari, bayi tersebut harus menahankan dinginnya di hutan. Setelah dievakuasi, kondisi bayi tersebut sempat memprihatinkan.
“Puji tuhan selamat, sudah sempat kritis, nggak nangis lagi, mungkin masuk angin, menyusui dari ibunya juga nggak ada karena nggak makan itu,” jelasnya.
Rosmawati mengatakan kabar bahwa orang tuanya telah dievakuasi itu baru diterima Rosmawati pada Minggu (30/11).
Untuk mendapatkan kabar tersebut, adiknya harus mencari jaringan hingga ke Kecamatan Pandan, karena jaringan telekomunikasi di wilayah tersebut masih putus.
“Mereka keluarnya itu hari Kamis katanya adik saya, baru bisa komunikasi dengan saya hari Minggu, adik saya nyari jaringan ke Pandan,” jelasnya.
Bayi Usia 3 Bulan Berhari-hari Terjebak di Hutan
Untuk bisa selamat dari hutan tersebut, adik laki-lakinya yang kini berusia 25 tahun, harus memberanikan diri untuk berenang menyeberangi sungai yang masih tinggi pada Kamis (27/11). Meski harus mempertaruhkan nyawa, aksi itu nekat dilakukan adiknya karena melihat kondisi para warga yang sudah kelaparan dan semakin memprihatinkan.
Adiknya berenang melewati sungai menuju Huta Bolon, Kecamatan Tukka. Setelah berhasil menyeberangi sungai dengan segala tantangan, adiknya mencari pertolongan dengan menemui beberapa keluarga dari warga yang terjebak di dalam hutan itu.
Rosmawati mengatakan ada sejumlah keluarga dari para warga yang terjebak itu, masih berada di perkampungan. Mereka sebelumnya terjebak seusai pulang bekerja, sehingga tidak bisa kembali ke desa.
“Adik saya memberanikan diri berenang untuk nyari bantuan ke seberang. Memang belum surut, tapi dia nyobain saja, karena nggak ada sama sekali yang tahu keadaan mereka di (hutan) sana kan. Dari di antara keluarga itu yang baru pulang kerja, kan ada terjebak saat kejadian di bawah, mereka tidak bisa kembali ke kampung. Jadi, itulah yang membantu mengevakuasi mereka dari hutan,” jelasnya.
Mereka mengevakuasi puluhan warga tersebut dengan alat seadanya. Mereka menyambung bambu yang ada di lokasi dan menggunakan tali untuk menjadi alat penyeberangan melewati sungai.
“Mereka menyambungkan bambu untuk evakuasi, nyambungin panjang. Mereka di atas kayu itu, mereka memegangi kayu buat bertahan,” kata Rosmawati.
Setelah berhasil dievakuasi, para warga pun mencari tempat untuk mengungsi. Sebagian mencari rumah kerabatnya yang bisa ditinggali, sedangkan sebagiannya memilih mengungsi ke tempat pengungsian yang disediakan pemerintah karena tidak ada sanak saudara yang hendak dituju. Sementara rumah mereka telah hancur diterjang banjir.
“Semua berpisah setelah mereka turun dari hutan itu, karena kan rumah sudah nggak ada sama sekali. Jadi, masing masih nyari keluarga yang masih ada untuk pengungsian. Ada katanya sebagian di GOR Pandan, ada sebagian yang masih ada rumah keluarga atau kerabatnya,” pungkasnya.







