Cerita Nek Munira, Janda di Aceh Berhaji dari Tabungan Hasil Bertani

Posted on

Nek Munira menapak enam anak tangga menuju ruang tamu rumahnya yang terbuat dari papan. Langkahnya pelan, badannya sedikit membungkuk memegang bagian tempat pijakan. Perempuan berusia 74 tahun itu memilih duduk di pintu tengah yang memisahkan dua ruangan.

Senyum ramah terpancar dari wajahnya. Ibu lima anak itu kini menghabiskan waktunya melakukan berbagai persiapan menuju Baitullah. Pekerjaan ringan di rumah dilakukannya agar tubuhnya tetap bugar.

“Untuk jalan Alhamdulillah masih sanggup, tapi kalau bangun dari duduk sedikit susah,” kata Munira saat ditemui di rumahnya pekan lalu.

Bagian kaki Munira sedikit bermasalah usai terjatuh di sawah beberapa tahun silam. Namun itu bukan kendala baginya untuk menunaikan rukun Islam kelima.

Perempuan asal Cureh, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar ini sudah lama merindukan menjadi Tamu Allah. Keinginan itu memuncak kala dia mengantar kakak iparnya yang hendak berhaji ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang, Aceh Besar.

Dia tidak ingat persis tahunnya namun itu terjadi pasca bencana tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004 silam. Munira tertegun, matanya berkaca-kaca kala melihat pesawat yang membawa istri saudara kandungnya lepas landas.

“Ketika tiba di rumah saya nggak sanggup makan. Dalam hati saya juga ingin sekali berhaji,” jelas Munira dalam bahasa Aceh.

Tak ingin berlarut, Munira kembali menjalani aktivitasnya sebagai buruh tani. Dia menggarap sawah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Munira menjadi orang tua tunggal pasca sang suami meninggal dunia tahun 2002.

Perjuangannya kala itu terbilang berat. Munira harus menghidupi empat buah hatinya seorang diri. Anaknya paling kecil berusia 12 tahun.

“Anak pertama mau nikah ketika ayahnya meninggal sehingga tanggal pernikahannya harus digeser,” jelasnya.

Munira berkisah, setiap hari berjalan kaki menuju sawahnya, kadang sambil menggendong salah seorang anaknya. Ketika baru-baru pulang mengantar iparnya berhaji, perempuan yang memiliki enam orang cucu itu kerap menangis saat melihat pesawat melintas di atasnya.

“Saya selalu berdoa ‘ya Allah ya tuhanku kapan aku bisa berhaji’. Dalam hati selalu terbersit kata-kata itu ketika melihat pesawat,” ujarnya.

Dari situ, Munira mulai menabung bila ada sisa uang setelah panen. Dia memprioritaskan uang hasil panen untuk kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anaknya serta memodali usaha sang buah hati. Selain itu, Munira juga merawat anak perempuannya yang sakit sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga kini.

Uang yang ditabung Munira setiap panen tidak tentu berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 2 jutaan. Uang itu diserahkan ke anaknya, Husaini. Lambat laun, sang anak membeli lembu, dipelihara anaknya yang lain, Bukhari dan bila sudah ada hasil, uangnya diserahkan ke anak sulung Syahrial Fardi.

Ketiga anaknya itulah yang mengelola uang hasil panen Munira sehingga cukup untuk mendaftarkan haji. Munira mengutus anak bungsunya Almuzanni mengurus segala dokumen serta mendaftar ke Kantor Pelayanan Haji Perwakilan Aceh Besar di Jalan Pocut Baren Gampong Mulia, Banda Aceh pada 2012 silam.

Usai mendaftar haji, Munira tetap ke sawah seperti biasa serta terus menabung. “Dalam lima tahun ini sudah tidak lagi ke sawah, sudah tidak diizinkan anak-anak,” ujarnya.

Setelah 13 tahun menunggu, kabar baik itu datang pada akhir 2024. Salah seorang anggota keluarga memberitahu namanya masuk dalam daftar jemaah haji yang berangkat tahun ini.

Munira meminta anak sulungnya memastikan informasi tersebut. Usai dipastikan benar, Nek Munira melakukan berbagai persiapan termasuk mengikuti manasik haji. Dia juga dipeusijuek (tepung tawari), prosesi adat Aceh untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.

Selain itu, Munira juga melakukan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Dia akan tergabung dalam jemaah asal Aceh Besar kelompok terbang (kloter) 11 yang dijadwalkan berangkat ke Arab Saudi, Kamis 29 Mei mendatang.

Munira berangkat bersama anaknya Syahrial. Menurutnya, beberapa saudaranya juga berangkat tahun ini baik dari Aceh Besar maupun Aceh Tengah.

Perempuan itu masuk kategori lanjut usia (lansia) sehingga anaknya yang sudah mendaftarkan haji lebih lima tahun diperbolehkan berangkat bersamanya. Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan beberapa syarat agar bisa mengikuti penggabungan mahram maupun pendampingan haji.

Kepala Kanwil Kemenag Aceh Azhari mengatakan, jemaah haji asal Aceh yang berangkat tahun ini berjumlah 4.378 orang termasuk petugas. Mereka akan tergabung dalam 12 kloter.

Menurutnya, pelayanan terhadap jemaah lansia tetap diutamakan. Pelayanan khusus akan diberikan sejak mereka memasuki asrama haji. Para jemaah lansia akan ditempatkan di lantai satu gedung asrama agar memudahkan mobilitas mereka.

“Ketika turun dari bus yang membawanya dari daerah, jemaah lansia langsung dibawa ke kamar dengan menggunakan kursi roda. Mereka lebih banyak istirahat selama di asrama haji,” kata Azhari.

Selain itu, semua aktivitas umum di asrama akan ditiadakan bagi para lansia untuk menjaga kondisi fisik mereka tetap prima.

“Pelayanan ini merupakan bentuk perhatian pemerintah agar jemaah lansia dapat menjalankan ibadah haji dengan nyaman dan aman,” jelasnya Azhari.

Munira bukan satu-satunya jemaah lansia dari Aceh. Tahun ini, Tanah Rencong mendapatkan 219 kuota khusus lansia. Selamat berhaji Nek Munira!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *