Curhat Warga di Tengah Penertiban TNTN, Siap Kolaborasi Hijaukan Hutan di Riau

Posted on

Penertiban Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang ada di Pelalawan mengungkap fakta terkini kondisi di lokasi. Termasuk keberlangsungan hidup ribuan masyarakat.

Salah satunya diungkap pemuda bernama Pagar Parlindungan (30). Pagar mengaku sudah tinggal dan sekolah di daerah yang disebut masuk dalam TNTN sejak belasan tahun lalu.

“Masyarakat sudah berpuluh-puluh tahun, bukan seminggu, bukan sebulan, bukan juga setahun. Saya SMP di sana, besar di sana sampai kuliah dan orang tua saya tak punya lahan di atas 10 hektar,” kata Pagar ditemui di Kantor Gubernur Riau, Kamis (10/7/2025).

Pagar bahkan datang langsung menemui tiga anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Obon Tabrani, Harris dan Selamet Ariyadi. Saat itu, ketiganya baru saja audiensi dengan Gubernur Riau Abdul Wahid hingga Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).

Pagar turut mengungkap kekecewaan saat menyampaikan aspirasinya. Terutama soal kondisi terkini masyarakat yang resah saat proses penertiban dilakukan sejak Juni lalu.

“Suara gajah didengar, suara rakyat tidak. Menurut saya negara abai selama berpuluh-puluh tahun, tidak aparat di sana konsisten, tak ada plang, tidak ada tapal batas. Pemerintah tidak ada bicara kompensasi sampai hari ini. Padahal penggusuran di Jakarta, dimana-mana kita lihat ada rusun disiapkan. Ini kan tanggungjawab negara, kalau mau usir kemana, jangan dibiarkan begitu saja,” katanya dengan suara gemetar.

Setelah belasan tahun tinggal di KM 82 Bukit Kusuma, Pagar membantah jika semua masyarakat disebut perambah. Sebab, tahun 2008 lalu orang tuanya pindah dari Rokan Hulu dengan membeli kebun karet.

“Kita itu bukan perambah, orang tua saya itu beli kebun di sana sudah tanaman karet. Itu kami ada tujuh bersaudara semua sekolah, kuliah, biaya semua di sana. Sejauh ini tidak ada (bicara solusi), kami ini korban negara. Benar, ada beberapa orang punya kebun di atas 50 hektare. Tetapi kita tidak boleh menutup mata bahwa ada masyarakat hanya punya 2 haktare, hanya untuk makan, bukan untuk kaya,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Aziz. Abdul Aziz mengaku masyarakat bukan perambah di TNTN.

“Kami bukan musuh hutan, kami bagian dari alam yang kami jaga,” kata Abdul Aziz.

Aziz menyebut kawasan yang kini disebut Taman Nasional Tesso Nilo itu dahulunya adalah bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Maka sejak awal Satgas PKH hadir disebut sangat penting karena wilayah Riau dikenal punya lahan luas.

Hanya saja, saat Penertiban sampai ke TNTN dan masyarakat disebut sebagai perambah, mereka terkejut. Apalagi, masyarakat diberi waktu hingga Agustus nanti untuk relokasi secara mandiri.

“Padahal dari awal proses hadirnya Taman Nasional itu sudah bermasalah. Namun itu seolah tak ada dan kami yang dipersalahkan. Hasil inventarisasi BKSDA tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan yang sekarang disebut Taman Nasional bukan lagi hutan primer. Dari data itu, hutan dengan kerapatan kayu di atas 70 persen hanya tersisa sekitar 10 ribu hektare. Sementara yang berkepadatan 40-70 persen hanya 8 ribu hektare,” kata Abdul Aziz.

Merujuk PP 47 Tahun 1997 soal Rencana Tata Ruang Nasional, Taman Nasional itu harusnya masih alami. Namun kawasan itu disebut dahulunya adalah HPH PT Dwi Marta dan diteruskan oleh Inhutani.

“Bahkan saat ditunjuk jadi Taman Nasional, sudah ada hampir 4 ribu hektare yang dikuasai masyarakat. Sama seperti penunjukan Taman Nasional tahap pertama, penunjukan perluasan Taman Nasional di tahun 2009 arealnya juga bukan hutan murni lagi karena sebelumnya bekas HPH PT Nanjak Makmur. Hasil identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF tahun 2010 bahkan menyebut lebih dari 28 ribu hektare areal yang ditunjuk jadi Taman Nasional itu, sudah dikuasai masyarakat,” kata Aziz lagi.

“Areal itu bekas HPH, belakangan mereka yang tinggal di sana dikatakan perambah dan pendatang yang merusak hutan. Sangat menyakitkan dituduh seperti itu. Orang yang tak tahu sejarah Taman Nasional itu akan percaya saja. Sebab dalam benak mereka, itu Taman Nasional, hutan rimba, padahal, sudah bekas tebangan perusahaan,” tegas Aziz.

Aziz memastikan enam desa yang diklaim berada di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo seperti Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau. Jumlah jiwa yang terdampak sekitar 25 ribu orang.

Meskipun begitu, masyarakat siap menjaga hutan bersama pemerintah. Salah satunya melakukan penghijauan terhadap kawasan dengan cara patungan.

“Kalau memang klaimnya masyarakat telah menguasai 60 ribu hektare lahan yang disebut Taman Nasional itu, ada lahan luas milik negara yang jadi konsesi perusahaan di dekat Taman Nasional. Ambil itu 75 ribu hektare, biar kami hijaukan, hutankan. Kami siap menyisihkan uang sawit kami Rp 500 ribu per hektare per tahun. Itu setara Rp 30 miliar per tahun atau Rp 2,5 miliar per bulan. Itu cukup untuk penghijauan. Tak hanya menghijaukan, kami juga siap menjaganya,” tegas Aziz.

Usulan itu bahkan sudah disampaikan lewat pernyataan tertulis saat diundang oleh Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada 2 Juli lalu. Sehingga ada solusi dalam menyelesaikan persoalan penertiban TNTN.

“Kami bukan sekadar menuntut hak, tapi juga memberi solusi. Biarkan kami yang bangun rumah bagi gajah dan satwa lain tak jauh dari tempat kami tinggal. Insya allah kami bisa dan mari kita jaga bersama,” katanya.