Fraksi PDIP (F-PDIP) DPRD Sumut meminta agar Presiden Prabowo Subianto menetapkan banjir bandang-longsor di Sumatera berstatus tanggal darurat bencana nasional. Hal itu penting karena kemampuan pemerintah daerah terbatas dalam penanganannya.
“Mendesak pemerintah pusat segera menetapkan bencana longsor dan banjir di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh sebagai bencana nasional, kemampuan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota telah jauh melampaui batas mengingat skala kerusakan yang sangat parah dan terus meluas,” kata Ketua F-PDIP DPRD Sumut Mangapul Purba dalam keterangannya, Minggu (7/12/2025).
Mangapul mengungkapkan sejumlah dampak banjir bandang-longsor di Sumatera. Seperti fasilitas umum rusak, akses jembatan dan jalan terputus, listrik padam, kesulitan air bersih, banyak rumah sakit yang mengalami kerusakan.
“Masih banyak wilayah terisolasi yang belum tersentuh bantuan. Mobilitas tim kemanusiaan terhambat karena akses yang terputus. Situasinya sangat kritis,” ujarnya.
Saat ini, Mangapul berada di lokasi bencana terparah di Tapanuli Tengah, Sumut. Ia menyebut kondisi lapangan jauh lebih memprihatinkan dibanding laporan yang beredar.
“Alat berat sangat terbatas untuk membuka akses. Perahu karet minim, bantuan logistik daerah juga sangat kurang. Tanpa intervensi pemerintah pusat, mustahil penanganan bencana ini berjalan cepat,” ungkapnya.
Ia menilai tidak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk menunda penetapan status bencana nasional, terutama mengingat ancaman lanjutan yang kini membayangi masyarakat. Tim di daerah dinilai sudah bekerja sampai kelelahan dan sangat membutuhkan kekuatan penuh pemerintah pusat.
“Jika pemerintah pusat tidak segera turun tangan, korban akan terus bertambah bukan hanya karena bencana awal, tetapi akibat kelaparan, penyakit, dan depresi. Rakyat di wilayah terdampak kini berada di ambang bencana kemanusiaan berikutnya,” ucapnya.
Anggota F-PDIP DPRD Sumut Henry Dumanter juga mendesak Prabowo agar menetapkan status tanggap darurat bencana nasional. Anggaran pemerintah daerah dinilai terbatas untuk penanganan bencana ini.
“Saya nyaris memastikan semua kepala daerah pasti tidak akan sanggup untuk menanggulangi bencana sebesar ini apalagi untuk pemulihannya (recovery) karena keterbatasan aggaran apalagi tahun anggaran 2025 mengecil dikarenakan seluruh kabupaten kota maupun provinsi seIndonesia mengalami pemotongan aggaran dari pusat. Untuk itu presiden harus menetapkan status bencana tersebut menjadi bencana nasional,” sebut Henry Dumanter.
Sekretaris Komisi A DPRD Sumut ini menilai jika Prabowo tidak menetapkan sebagai bencana nasional, maka pemerintah pusat terkesan hanya ingin menikmati pajak dari tambang, perkebunan, dan kehutanan di daerah. Henry menilai jika alih fungsi hutan membuat bencana ini semakin parah.
“Salah satu penyebab bencana ini adalah perubahan peruntukan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit baik legal maupun illegal demikian juga pembukaan tambang baik legal maupun illegal. Dan demikian juga penebangan hutan untuk menjadi hutan industry. Bersaama itu juga saya meminta kepada bapak presiden untuk segera menutup dan mencabut Izin PT. Toba Pulp Lestari (TPL) karena patut diduga perusahaan ini ikut menyumbang kerusakan lingkungan hidup didaerah Taput dan sekitarnya. Akumulasi dari kegiatan tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan akhirnya menimbulkan bencana alam ini,” ujannya.
“Bencana alam ini memiskinkan puluhan malah ratusan ribu orang dan juga penderitaan yang luar biasa yang dialami masyarakat di sumatera. Jadi kalau pemerintah pusat tidak menetapkan ini menjadi bencana nasional maka bisa dipastikan akan menimbulkan masalah baru yaitu kerawanan sosial, hukum yang bisa berujung pada ketidakstabilan nasional,” tuturnya.
Untuk diketahui, banjir bandang-longsor terjadi di sejumlah daerah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Per kemarin sore, BNPB mencatat 914 orang meninggal dunia dan 389 orang hilang di tiga wilayah tersebut.
Sekretaris Komisi A DPRD Sumut ini menilai jika Prabowo tidak menetapkan sebagai bencana nasional, maka pemerintah pusat terkesan hanya ingin menikmati pajak dari tambang, perkebunan, dan kehutanan di daerah. Henry menilai jika alih fungsi hutan membuat bencana ini semakin parah.
“Salah satu penyebab bencana ini adalah perubahan peruntukan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit baik legal maupun illegal demikian juga pembukaan tambang baik legal maupun illegal. Dan demikian juga penebangan hutan untuk menjadi hutan industry. Bersaama itu juga saya meminta kepada bapak presiden untuk segera menutup dan mencabut Izin PT. Toba Pulp Lestari (TPL) karena patut diduga perusahaan ini ikut menyumbang kerusakan lingkungan hidup didaerah Taput dan sekitarnya. Akumulasi dari kegiatan tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan akhirnya menimbulkan bencana alam ini,” ujannya.
“Bencana alam ini memiskinkan puluhan malah ratusan ribu orang dan juga penderitaan yang luar biasa yang dialami masyarakat di sumatera. Jadi kalau pemerintah pusat tidak menetapkan ini menjadi bencana nasional maka bisa dipastikan akan menimbulkan masalah baru yaitu kerawanan sosial, hukum yang bisa berujung pada ketidakstabilan nasional,” tuturnya.
Untuk diketahui, banjir bandang-longsor terjadi di sejumlah daerah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Per kemarin sore, BNPB mencatat 914 orang meninggal dunia dan 389 orang hilang di tiga wilayah tersebut.







