Ribuan warga di Kabupaten Aceh Tamiang menjadi korban banjir bandang, puluhan meninggal dunia. Salah satu korban selamat adalah Muhammad Fahmi, warga Desa Kota Lintang Bawah, Kecamatan Kuala Simpang.
Saat ditemui, Selasa (9/12/2025) sore, Fahmi bersama anak dan keponakannya sedang menyiapkan hunian sementara untuk keluarga mereka. Mereka ingin pindah dari bangunan sekolah yang 10 hari terakhir menjadi tempat pengungsian.
Alasannya, agar lebih dekat dengan sumur yang masih bisa digunakan untuk air bersih. Termasuk lebih dekat dengan posko bantuan logistik dan medis.
Fahmi masih ingat jelas suasana Sabtu (29/11) pagi usai menguras rumah satu malaman setelah banjir. Pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB, air banjir bandang mendadak tinggi dengan arus kencang.
“Malam kan kita udah nguras, jam 4 pagi siap, terus pagi lebih besar lagi airnya, kencang kali lah airnya, nggak ada tahapan, naik terus, nggak pernah kejadian (seperti ini) kita dari lahir pun di sini nggak pernah kejadian seperti itu, bedalah,” kata Muhammad Fahmi saat ditemui di dekat rumahnya yang hancur diterjang banjir bandang.
Empat hari sebelum banjir bandang, hujan deras mengguyur Aceh Tamiang. Bahkan malam hari sebelum banjir bandang, angin kencang melanda kawasan tersebut.
“Hujan lebat turun empat hari sebelum, besok banjir, malamnya angin kencang sekali,” ujarnya.
Fahmi menyaksikan warga mencoba mengevakuasi diri dengan cara menjebol atap rumah. Warga kemudian meminta bantuan agar dibantu untuk evakuasi ke daerah lebih tinggi.
Keluarga besar Fahmi yang rumahnya berdekatan langsung berhamburan menyelamatkan diri masing-masing. Mereka terpisah, tanpa mengetahui kabar masing-masing.
“Evakuasi sendiri-sendiri, kami udah seperti itu ya berpencar lah cari tempat masing-masing untuk supaya aman,” ungkapnya.
Fahmi bersama anaknya berhasil mencapai lantai 2 bangunan SMK sebagai tempat evakuasi karena berada di dataran lebih tinggi. Air di sekolah itu saja disebut lebih dari 3 meter.
“Kami di SMK itu kan di atas bukit, lapangan voli aja tiangnya 2 meter 48 centimeter, di atas lagi itu, sekitar 1 meter lebih lagi, itulah kedalamannya,” ujarnya.
Setelah ketinggian air mulai surut di hari kelima, Fahmi akhirnya dapat bertemu dengan keluarga yang lain dalam kondisi selamat. Momen haru terjadi saat mereka bertemu untuk pertama kalinya pasca banjir.
“Bertahan lah di tempat masing-masing, sekitar 5 hari tahu dimana (keberadaan keluarga lain), kecarian masing-masing, nangis orang itu kiranya kita nggak jumpa lagi, keadaannya memang mengerikan,” ungkapnya.
Fahmi menjelaskan jika selama 5 hari mereka bertahan hidup dengan pemberian makanan dari sesama warga di sekolah itu. Tiap malam, jeritan minta tolong terdengar memecah kesunyian dan kegelapan malam tanpa lampu saat itu.
“Yang jelas kalau malam itu, ada dengar selalu orang minta tolong, ‘tolong.. tolong…’ gelap nggak ada cahaya,” tuturnya.
Pria paruh baya itu sedih melihat rumah yang dia bangun dari usaha jualan ikan hancur. Ia berharap pemerintah membantu membangun kembali rumah untuk tempat berteduh keluarganya.
“Ya harapannya (dibantu bangun rumah kembali) dapat bantuan itu kan kita senang, ya harapan kita pemerintah dibantunya kita,” ucapnya.
Fahmi bersama anaknya berhasil mencapai lantai 2 bangunan SMK sebagai tempat evakuasi karena berada di dataran lebih tinggi. Air di sekolah itu saja disebut lebih dari 3 meter.
“Kami di SMK itu kan di atas bukit, lapangan voli aja tiangnya 2 meter 48 centimeter, di atas lagi itu, sekitar 1 meter lebih lagi, itulah kedalamannya,” ujarnya.
Setelah ketinggian air mulai surut di hari kelima, Fahmi akhirnya dapat bertemu dengan keluarga yang lain dalam kondisi selamat. Momen haru terjadi saat mereka bertemu untuk pertama kalinya pasca banjir.
“Bertahan lah di tempat masing-masing, sekitar 5 hari tahu dimana (keberadaan keluarga lain), kecarian masing-masing, nangis orang itu kiranya kita nggak jumpa lagi, keadaannya memang mengerikan,” ungkapnya.
Fahmi menjelaskan jika selama 5 hari mereka bertahan hidup dengan pemberian makanan dari sesama warga di sekolah itu. Tiap malam, jeritan minta tolong terdengar memecah kesunyian dan kegelapan malam tanpa lampu saat itu.
“Yang jelas kalau malam itu, ada dengar selalu orang minta tolong, ‘tolong.. tolong…’ gelap nggak ada cahaya,” tuturnya.
Pria paruh baya itu sedih melihat rumah yang dia bangun dari usaha jualan ikan hancur. Ia berharap pemerintah membantu membangun kembali rumah untuk tempat berteduh keluarganya.
“Ya harapannya (dibantu bangun rumah kembali) dapat bantuan itu kan kita senang, ya harapan kita pemerintah dibantunya kita,” ucapnya.







