Hari Bhakti Adhyaksa 2025, Simak Sejarah Berdirinya Kejaksaan RI

Posted on

Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-65 diperingati pada tanggal 22 Juli 2025. Banyak orang mengira jika hari tersebut bertujuan memperingati berdirinya lembaga Kejaksaan RI padahal Kejaksaan lahir jauh sebelum itu.

Lantas, apa yang melatarbelakangi lahirnya lembaga dengan doktrin “Tri Krama Adhyaksa” itu? Kali ini infoSumut rangkum penjelasan Hari Bhakti Adhyaksa 2025 yang menjadi sejarah berdirinya Kejaksaan Agung RI.

Sejarah Berdirinya Kejaksaan Agung RI

Melansir website resmi Kejaksaan Agung RI, istilah “kejaksaan” telah sejak lama di Indonesia. Di era Kerajaan Majapahit, istilah “dhyaksa”, “adhyaksa”, “dharmadhyaksa” sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan.

Istilah-istilah tersebut diketahui berasal dari bahasa kuno, yaitu kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Peneliti Belanda bernama W. F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit.

Saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa pada 1350-1389 M, dhyaksa ialah hakim yang ditugaskan menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Adhyaksa atau hakim tertinggi memimpin dan mengawasi para dhyaksa itu.

Didukung oleh peneliti lain, H. H. Juynboll, yang menyatakan kalau adhyaksa merupakan pengawas atau hakim tertinggi. Krom dan Van Vollenhoven yang juga peneliti Belanda menyebut jika Gajah Mada sosok adhyaksa.

Openbaar Ministerie yakni badan yang berkaitan dengan jaksa dan Kejaksaan di masa pendudukan Belanda. Pegawainya menjadi Magistraat dan Officier van Justitie dalam sidang PN, Justisi, MA yang diperintah langsung Residen/Asisten Residen.

Hanya saja, pada praktiknya, fungsi itu lebih cenderung menjadi perpanjangan tangan Belanda belaka. Maksudnya, ketika masa penjajahan Belanda, jaksa dan Kejaksaan mengemban misi terselubung, di antaranya sebagai berikut:

Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942 lalu diganti Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.

Eksistensi Kejaksaan tersebut berada pada semua jenjang pengadilan, sejak pengadilan agung, pengadilan tinggi, hingga pengadilan negeri. Dengan demikian, di masa itu, Kejaksaan secara resmi digariskan punya kekuasaan, seperti:

Sampai waktu Indonesia merdeka, fungsi itu tetap dipertahankan di Negara Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan juga diperjelas di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945.

Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar maka segala badan dan peraturan yang ada masih tetap berlaku.

Secara yuridis formal, Kejaksaan RI ada sejak kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Dua hari kemudian, kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara RI tepatnya lingkungan Departemen Kehakiman diputuskan di rapat PPKI.

Kejaksaan RI terus mengalami perkembangan dan dinamika sesuai kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal keberadaannya sampai saat ini, Kejaksaan RI telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung.

Seiring perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, terjadi perubahan kedudukan pimpinan, organisasi, dan tata cara kerja Kejaksaan RI yang disesuaikan dengan situasi, kondisi masyarakat, bentuk negara, dan sistem pemerintahan.

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama bermula tanggal 30 Juni 1961, ketika Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI.

UU tersebut menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yaitu penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5), dan susunan organisasi yang diatur Keppres.

Sementara itu, tentang kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan dalam rangka alat revolusi dan penempatan kejaksaan du struktur organisasi departemen, disahkan UU Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Ketika masa Orde Baru berlangsung, terdapat perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Perkembangan itu juga diketahui mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi dan tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.

Tiba saatnya Masa Reformasi hadir, Undang-undang tentang Kejaksaan mengalami perubahan dengan diundangkannya UU Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1991 yang disambut gembira banyak pihak.

Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) menegaskan “Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara punya kedudukan sentral di penegakan hukum karena hanya Kejaksaan yang tentukan diajukan/tidaknya kasus ke pengadilan berdasarkan alat bukti sah menurut Hukum Acara Pidana.

Selain menjadi penyandang Dominus Litis, Kejaksaan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana sehingga UU Kejaksaan yang baru itu dipandang lebih kuat menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI di bidang penuntutan.

Mengacu UU tersebut, pelaksanaan kekuasaan negara oleh Kejaksaan harus secara merdeka dilaksanakan seperti dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka.

Hal itu berarti saat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya, ketentuan tersebut bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesional.

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI juga mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan lewat Pasal 30 dan 31. Sedangkan, Pasal 32 menetapkan Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Dalam Pasal 33, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lain. Dalam Pasal 34, Kejaksaan memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lain.

Di Masa Reformasi pula, Kejaksaan memperoleh bantuan dengan munculnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran mereka dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi.

Sebelumnya, upaya penegakan hukum terhadap tipikor sering terkendala yang bukan saja dialami Kejaksaan tetapi juga Kepolisian RI dan badan lain. Pembentukan berbagai lembaga dilakukan sebagai upaya memberantas korupsi

UU Tindak Pidana Korupsi yang lama, UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU itu, diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan pemberlakuan sanksi lebih berat.

Belakangan ini, UU tersebut juga dipandang lemah dan menyebabkan para koruptor lolos karena tak ada Aturan Peralihan pada UU. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi melakukan penyidikan kasus korupsi tidak bisa diselesaikan.

Oleh sebab itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tipikor. Untuk penuntutannya, diajukan KPK yang membawahi 4 bidang.

Dari keempat bidang tersebut, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI serta pejabat fungsional Kejaksaan yang dikhususkan untuk penuntutan.