Ratusan warga yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL melakukan aksi demonstrasi di Kantor Bupati-DPRD Tapanuli Utara (Taput) dengan tuntutan agar PT Toba Pulp Lestari (TPL) agar segera ditutup. Ini sejumlah alasan warga mendesak TPL ditutup.
“Ini kan akumulasi yang sudah dilakukan oleh TPL secara berlapis kepada masyarakat, sejak perusahaan ini sejak tahun 80-an sudah menuai kontroversi di awal bahkan di lokasi pembangunan pabriknya sekarang sudah menuai kontroversi karena di hulu sungai Asahan kan,” kata Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu yang emailnya salah satu aliansi, Rabu (28/5/2025).
“Makanya tahun 90-an itu sempat tutup karena ada gerakan yang cukup masif dari semua masyarakat adat di kawasan Danau Toba, tapi tahun 2003 mereka buka lagi dengan paradigma baru tertentu, dari pengamatan kami sejak bernama Indo Rayon sampai TPL itu tidak ada berubah justru semakin parah semakin ke sini,” imbuhnya.
TPL dinilai merupakan perusahaan yang merusak lingkungan sejak dulu hingga sekarang. Hanya berbeda lokasi saja.
“Kalau dulu mereka itu dikenal sebagai perusahaan yang sangat mencemari lingkungan, hari ini pun mereka tetap melakukan itu, hanya perbedaannya dulu itu dilakukan di hilir sekarang lebih banyak dilakukan di hulu di kawasan hutan masyarakat adat,” ucapnya.
Persoalan perampasan tanah juga disebut semakin lama semakin marak terjadi. TPL dinilai melakukan pelanggaran hukum.
“Perampasan tanah itu semakin tahun semakin marak terjadi walaupun mereka selalu berdalih kalau mereka secara legal mendapatkan hak konsesi itu dari negara, tapi prakteknya di lapangan sebenarnya mereka juga cukup banyak melakukan pelanggaran hukum setelah mendapatkan konsesi dari negara,” ujarnya.
“Semua daerah-daerah aliran sungai baik itu anak sungai, baik itu sungai besar sekarang kondisinya sangat memprihatinkan bahkan banyak yang sekarang tidak bisa berfungsi lagi karena ditimbun dan diganti menjadi lokasi penanaman pohon Eukaliptus mereka,” ucapnya.
Rocky menyebutkan jika hal itu menjadi penyebab banjir di kawasan Danau Toba. Padahal TPL disebut sudah membuat MoU pada tahun 2016 dengan pasar internasional agar tidak melakukan penebangan hutan alam.
“Kita masih menemukan banyak areal-areal yang tidak bisa kita kerjakan karena itu ditetapkan (hutan) lindung tapi itu kan tetap mereka kerjakan dan itu kami duga salah satu penyebab banjir ekologis yang terjadi baru-baru ini di kawasan Danau Toba,” sebutnya.
Pihaknya juga menemukan sungai yang merupakan sumber air minum masyarakat sudah terkontaminasi. Sebab bekas penggunaan pestisida dibuang ke sungai.
“Banyak sekali kita temukan di beberapa anak sungai dan sungai besar yang menjadi sumber air minum masyarakat setempat itu sudah terkontaminasi dengan pupuk pestisida mereka karena hampir semua bekas goni, plastik, tempat pupuk itu dibuang di sungai,” ujarnya.
Selain itu, dari aspek sosial banyak masyarakat yang mengalami intimidasi hingga kriminalisasi dari TPL. Mereka mencatat terdapat 206 orang yang mendapat perlakuan itu sejak 2003.
“Untuk aspek sosialnya hampir setiap tahun masyarakat adat yang beririsan dengan konsesi mereka mengalami intimidasi, kekerasan, kriminalisasi, bahkan kita mencatat sejak TPL 2003 sampai 2025 KSPPM mencatat 206 orang mengalami intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan yang dilakukan oleh TPL dan itu sangat memprihatinkan karena masyarakat adat itu kan nggak tahu kapan itu sebagai konsesi, kapan itu ditetapkan sebagai kawasan hutan negara tapi tiba-tiba mereka berladang dilaporkan TPL,” ungkapnya.
Namun hal yang mereka nilai membuat marah adalah adanya politik divide et impera yang dilakukan TPL ke masyarakat. Hal itu membuat konflik horizontal fi masyarakat.
“Yang paling kita merasa jengkel, merasa marah dengan perusahaan ini menggunakan politik divide et impera, mereka membentuk kelompok-kelompok kecil di setiap desa ketika desa itu mau memperjuangkan tanahnya, itu berimplikasi pada meningkatnya konflik horizontal. Jadi sekarang hampir semua yang ada beririsan tanah adatnya dengan konsesi perusahaan mengalami konflik horizontal yang sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
“Ada yang bahkan pecah gereja, ada yang kekerabatannya tidak bisa lagi satu pesta adat, itu yang membuat kami sangat marah, karena kekhasan orang Batak dan kekayaan yang bisa kami banggakan adalah hubungan kekerabatan dan itu terganggu di kampung-kampung,” imbuhnya.
Dari sisi sumbangsih pendapat ke negara, TPL dinilai lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang kehilangan mata pencarian.
“Kami bisa memastikan sebenarnya sumbangsi yang diberikan oleh TPL terhadap negara ini melalui PAD, pajak, itu tidak seberapa dibanding masyarakat yang kehilangan mata pencaharian endemik, yaitu kemenyan,” tutupnya.
Menanggapi soal desakan tutup TPL, Corporate Communication Head TPL Salomo Sitohang menyebutkan jika pihaknya selama 30 tahun berkomitmen membangun komunikasi dengan masyarakat. Komunikasi itu disebut menyentuh semua lapisan.
“PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun dan berkomitmen membangun komunikasi terbuka dengan masyarakat. Melalui berbagai dialog, sosialisasi, dan program kemitraan yang telah kami lakukan bersama pemerintah, masyarakat hukum adat, tokoh agama, tokoh pemuda, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat sebagai bagian dari pendekatan sosial yang inklusif,” sebut Salomo Sitohang.
Salomo menolak tuduhan jika TPL menyebabkan bencana ekologi. Sebab menurutnya seluruh kegiatan sudah sesuai dengan standar operasional.
“Kami menolak dengan tegas tuduhan bahwa operasional TPL menjadi penyebab bencana ekologi. Seluruh kegiatan kami telah sesuai dengan izin, peraturan, dan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berwenang. Kami juga menjalankan operasional sesuai dengan Standar Operasional Prosedur yang jelas dan terdokumentasi,” ucapnya.
TPL disebut melakukan pemantauan lingkungan secara periodik dengan bekerjasama dengan lembaga independen dan tersertifikasi untuk memastikan seluruh aktivitas sesuai ketentuan. Peremajaan pabrik dilakukan untuk pengurangan dampak lingkungan.
“Kegiatan peremajaan pabrik dilakukan dengan fokus pada efisiensi dan pengurangan dampak lingkungan secara signifikan melalui teknologi yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Audit menyeluruh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah dilakukan pada tahun 2022-2023 dan hasilnya menyatakan bahwa TPL TAAT mematuhi seluruh regulasi serta tidak ditemukan pelanggaran terhadap aspek lingkungan maupun sosial. TPL juga disebut telah menjalankan program tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan pelestarian lingkungan yang menyasar kebutuhan nyata masyarakat sekitar wilayah operasionalnya.
Program-program ini dijalankan secara berkelanjutan dan dilaporkan kepada pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya secara berkala. Pihaknya juga membantah soal tuduhan deforestasi.
“Mengenai tuduhan deforestasi, kami tegaskan bahwa TPL melakukan operasional pemanenan dan penanaman kembali di dalam konsesi berdasarkan tata ruang, Rencana Kerja Umum, dan Rencana Kerja Tahunan yang telah ditetapkan. Dengan sistem tanam-panen berkelanjutan, kami menjaga kesinambungan hutan tanaman sebagai bahan baku industri pulp, sehingga jarak waktu antara pemanenan dan penanaman hanya berselang paling lama 1 bulan, sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam dokumen Amdal,” ungkapnya.
Dari luas konsesi sebesar 167.912 hektare, TPL hanya mengembangkan sekitar 46.000 hektare sebagai perkebunan eucalyptus dan mengalokasikan sekitar 48.000 ha sebagai area konservasi dan kawasan lindung yang dijaga oleh Perseroan dengan komitmen menjaga keanekaragaman hayati di dalamnya. TPL mempekerjakan lebih dari 9.000 orang, baik pekerja langsung maupun tidak langsung, dan didukung oleh lebih dari 4.000 Kelompok Tani Hutan dan pelaku UMKM.
“Bila termasuk keluarga dari para pekerja dan mitra tersebut, maka jumlah masyarakat yang bergantung pada keberadaan perusahaan mencapai sekitar 50.000 jiwa, belum termasuk kedai pengecer dan bengkel kecil di sekitar areal kerja dan jalur logistik. Ini menunjukkan peran penting TPL dalam mendukung perekonomian lokal dan regional,” bebernya.
Salomo menuturkan jika pihaknya menghargai hak menyampaikan pendapat, namun harus didasari data dan fakta. Pihaknya membuka ruang dialog dan masukan dari semua pihak.
“Kami menghargai hak setiap pihak untuk menyampaikan pendapat, namun kami berharap hal tersebut didasarkan pada data dan fakta yang akurat. Kami membuka ruang dialog dan menerima masukan dari semua pihak guna menciptakan keberlanjutan yang adil dan bertanggung jawab di wilayah Tano Batak,” tutupnya.