Pengadilan Negeri (PN) Batam kembali menggelar sidang lanjutan perkara penganiayaan terhadap seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Intan Tuwa Negu (22), warga Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam persidangan, korban mengaku mengalami penyiksaan keji oleh majikannya Roslina dan sesama ART yang juga merupakan saudaranya, Marliyati Louru Peda.
Sidang yang digelar Kamis (6/11/2025) itu dipimpin oleh majelis hakim Andi Bayu dengan anggota Douglas Napitupulu dan Dina Puspasari, serta dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aditya Syaummil. Agenda sidang kali ini terbagi dua, yaitu pembacaan tanggapan jaksa atas eksepsi penasihat hukum terdakwa Roslina serta pemeriksaan saksi korban untuk terdakwa Marliyati.
Dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim, Intan mengaku dirinya disiksa hampir setiap hari sejak bekerja di rumah Roslina. Ia menyebut diri tak pernah benar di mata Roslina dan Marliyati.
“Saya serba salah di mata mereka,” ujar Intan dengan suara bergetar.
Intan mulai bekerja di rumah Roslina sejak Juni 2024, sementara saudaranya, Marliyati, menyusul bekerja sebulan kemudian. Awalnya, mereka tinggal di rumah majikan di kawasan Jalan Damar, Sukajadi, Batam, dan perlakuan Roslina masih tergolong baik. Namun setelah berpindah rumah, perlakuan kejam mulai terjadi.
“Waktu tinggal di rumah Sukajadi masih baik, tapi setelah pindah, saya mulai disiksa. Marliyati juga ikut perintah Roslina menyiksa saya,” ungkap Intan.
Penyiksaan yang dialami korban tidak hanya berupa pemukulan dan jambakan rambut, tetapi juga aksi keji lainnya. Korban mengaku pernah disemprot air sambil diikat hingga sulit bernapas, dipaksa tidur di depan kamar mandi karena dianggap kotor, dan dilarang makan sebelum Marliyati.
Lebih sadis lagi, Intan mengaku pernah dipaksa memakan kotoran anjing dan meminum air dari kloset atas perintah Roslina.
“Saya telan karena takut dipukul,” katanya lirih.
Menurut kesaksian Intan, Marliyati turut memukulnya karena takut dipukuli oleh Roslina jika menolak perintah. Namun di sisi lain, Intan juga mengaku disiksa Marliyati tanpa perintah dari Roslina.
“Dia (Marliyati) disuruh jaga supaya saya tidak kabur. Kalau dia tidak pukul saya, dia yang akan dipukul. Saya pernah disetrum pakai raket nyamuk dan dipukul di bibir hingga pecah. Mereka juga meninju mata saya sampai lebam,” ujarnya.
Korban juga mengaku sempat diancam akan dibunuh menggunakan pisau oleh Marliyati. Intan menyebut hal itu dilakukan Marliyati karena kesal terhadap dirinya.
“Marliyati pernah mau bunuh saya. Saya dibawa ke kamar mandi untuk menghindari CCTV, diikat pakai tali, dan diancam dengan pisau. Saya juga disuruh sampaikan pesan terakhir ke orang tua di kampung,” ungkap Intan sambil menangis.
Dalam kesaksiannya, Intan menerangkan bahwa Roslina juga pernah menakut-nakuti dirinya agar tidak berani melapor ke polisi. Roslina mengatakan kasusnya tidak akan diproses karena polisi bisa dibayar.
“Saya tidak berani kabur karena Roslina ancam akan lapor polisi dan dicari polisi. Dia bilang bisa bayar polisi,” ujarnya.
Menurut Intan, Roslina pernah memerintahkan Marliyati untuk menghabisi nyawanya. Intan mengaku Roslina tak pernah menyebut namanya dan menggantinya dengan kata ‘anjing’.
“Roslina bilang, ‘Kamu (Marliyati) harus kasih mati anjing (saya),'” kata Intan lirih.
Intan juga mengaku tidak diberi makan layak. Selain itu, peralatan makan miliknya dipisahkan karena dianggap menjijikkan oleh Roslina.
“Kalau makan, saya tidak boleh ambil nasi duluan. Marliyati merasa jijik kalau saya sudah pegang. Piring saya dipisahkan karena katanya mereka jijik sama saya. Saya makan satu hari sekali, bahkan pernah sampai dua hari tidak dikasih makan,” ucapnya.
Lanjutnya, Roslina bahkan memiliki buku khusus yang mencatat kesalahan korban, yang disebut ‘buku dosa’. Buku itu berisi daftar kesalahan hingga denda yang harus dibayarkan Intan setiap kali dianggap berbuat salah.
“Kalau saya dianggap salah, gaji dipotong. Katanya sebagai hukuman. Saya juga tidak dikasih pegang handphone, karena handphone kami ditahan,” kata Intan.
Intan juga menyebut bahwa sebagian besar aksi kekerasan dilakukan di bawah pantauan kamera CCTV rumah. Roslina, kata Intan, kerap memerintahkan penganiayaan melalui CCTV yang terpasang di rumah tersebut.
“Roslina suruh Marliyati hajar lewat CCTV. CCTV-nya ada suaranya,” ujarnya.
Perjanjian kerja Intan semula berlangsung hingga Juni 2025, namun sebelum masa kerja berakhir, ia mendapatkan celah untuk mengadu kepada ART tetangga. Dari situlah kasus ini akhirnya ditangani pihak kepolisian.
Dalam kesaksiannya, Intan menerangkan bahwa Roslina juga pernah menakut-nakuti dirinya agar tidak berani melapor ke polisi. Roslina mengatakan kasusnya tidak akan diproses karena polisi bisa dibayar.
“Saya tidak berani kabur karena Roslina ancam akan lapor polisi dan dicari polisi. Dia bilang bisa bayar polisi,” ujarnya.
Menurut Intan, Roslina pernah memerintahkan Marliyati untuk menghabisi nyawanya. Intan mengaku Roslina tak pernah menyebut namanya dan menggantinya dengan kata ‘anjing’.
“Roslina bilang, ‘Kamu (Marliyati) harus kasih mati anjing (saya),'” kata Intan lirih.
Intan juga mengaku tidak diberi makan layak. Selain itu, peralatan makan miliknya dipisahkan karena dianggap menjijikkan oleh Roslina.
“Kalau makan, saya tidak boleh ambil nasi duluan. Marliyati merasa jijik kalau saya sudah pegang. Piring saya dipisahkan karena katanya mereka jijik sama saya. Saya makan satu hari sekali, bahkan pernah sampai dua hari tidak dikasih makan,” ucapnya.
Lanjutnya, Roslina bahkan memiliki buku khusus yang mencatat kesalahan korban, yang disebut ‘buku dosa’. Buku itu berisi daftar kesalahan hingga denda yang harus dibayarkan Intan setiap kali dianggap berbuat salah.
“Kalau saya dianggap salah, gaji dipotong. Katanya sebagai hukuman. Saya juga tidak dikasih pegang handphone, karena handphone kami ditahan,” kata Intan.
Intan juga menyebut bahwa sebagian besar aksi kekerasan dilakukan di bawah pantauan kamera CCTV rumah. Roslina, kata Intan, kerap memerintahkan penganiayaan melalui CCTV yang terpasang di rumah tersebut.
“Roslina suruh Marliyati hajar lewat CCTV. CCTV-nya ada suaranya,” ujarnya.
Perjanjian kerja Intan semula berlangsung hingga Juni 2025, namun sebelum masa kerja berakhir, ia mendapatkan celah untuk mengadu kepada ART tetangga. Dari situlah kasus ini akhirnya ditangani pihak kepolisian.







