Adi Guenea Isman (26), dengan memanggul tas yang masih berlumur lumpur di bahunya, tiba di warkop jurnalis di kawasan Medan Polonia, Kota Medan. Adi adalah seorang guru PPPK Bahasa Jepang asal Sumedang, Jawa Barat.
Ia bertugas sebagai staf pengajar di SMK Negeri 2 Karang Baru, termasuk ketika banjir besar melanda Aceh Tamiang, Aceh.
Wajahnya letih, bajunya kusam, namun sorot matanya menyimpan sejumlah kenangan. Ia akhirnya bisa selamat tiba di Kota Medan setelah menempuh perjalanan dramatis selama dua hari dengan berjalan kaki dari Aceh Tamiang.
Bagi Adi perjalanan yang ditempuhnya bukan hanya soal jarak. Akan tetapi tentang bertahan melawan lapar, banjir, dan kesunyian panjang yang mengiringinya dari Aceh Tamiang hingga Binjai.
Hari itu, 28 November 2025, Adi baru saja pulang mengajar di SMK Negeri 2 Karang Baru. Hujan turun tanpa jeda, tapi ia tak pernah membayangkan air akan naik setinggi dua meter dalam hitungan jam.
Dalam waktu singkat, kos-kosannya berubah menjadi pulau kecil, dikepung luapan air kecokelatan.
“Naik terus airnya, bang, sampai dua meter. Kami mengungsi di kos-kosan lantai dua, berhari-hari bersama empat kepala keluarga lain,” ungkapnya kepada infoSumut pada Sabtu (6/12/2025) malam.
Empat keluarga lain ikut menumpang di lantai dua kos itu. Malam-malam mereka diisi suara tangis anak-anak, aroma makanan basi yang mengapung dari dapur-dapur warga, dan bunyi air yang terus menggulung masuk ke halaman.
Ketika banjir berangsur surut, minimarket mulai dijarah. Orang-orang yang kelaparan tak lagi mengenal rasa malu, hanya ingin bertahan hidup.
Di antara barang-barang yang mengapung, Adi dan warga lain ikut mengambil makanan yang sudah tergenang. Bukan karena ingin, tapi karena itu satu-satunya pilihan.
“Saya sudah tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada bantuan. Tidak ada sinyal. Tidak ada listrik,” katanya.
Pada 1 Desember, ketika air benar-benar surut, Adi memutuskan mengambil risiko terbesar dalam hidupnya untuk keluar dari Aceh Tamiang. Tujuannya sederhana, mencari sinyal agar bisa menghubungi keluarganya di Sumedang.
Kota Langsa kemudian menjadi pilihan, karena jaraknya yang relatif dekat. Ia mengayuh sepeda yang didapatnya, berharap jalanan sudah bisa dilalui.
Namun kenyataan tidak selalu sebaik rencana.
“Sepeda saya rusak. Jalan masih rusak berat, banyak yang terputus,” kenangnya.
Ia terhenti di tengah wilayah yang sunyi tak ada kendaraan, tak ada orang. Banjir telah memutuskan jalur, dan ia terjebak antara air dan daratan yang belum pulih. Tak ada pilihan selain kembali ke Aceh Tamiang.
Di titik inilah ia memutuskan sesuatu yang jauh lebih berat. Meneruskan berjalan kaki menuju Kota Medan dengan rasa lapar, takut, dan kesunyian
Pada 4 Desember, dengan tas penuh lumpur di punggung, Adi mulai berjalan. Beberapa kali ia mencoba menghentikan truk, namun para sopir menolak karena maraknya penjarahan truk sembako di jalan.
“Sopir-sopir truk setelah bawa sembako takut membawa penumpang, karena banyak truk dijarah. Saya ditolak,” ujarnya.
Ia terus berjalan. Sepasang kakinya jadi satu-satunya kendaraan yang masih bisa ia andalkan.
Di sepanjang jalan, makanan yang ia temukan hanyalah makanan kemasan yang mengambang di sekitar minimarket, sisa-sisa penjarahan yang ditinggalkan warga. Terkadang ada yang memberi makan, dan bahkan ia hanya menelan rasa lapar.
Saat malam tiba, ia tidur di gubuk-gubuk sepi yang ia temukan di pinggir jalan. Atapnya bocor, lantainya lembap, tapi itu cukup untuk sekadar mengistirahatkan tubuh.
“Uang tidak ada. Identitas saya hanyut semua,” katanya lirih.
Namun kakinya tak berhenti melangkah hingga akhirnya menemukan titik terang, ketika mengetahui masih ada kehidupan di kota Binjai pada Sabtu (6/12/2025).
Setelah dua hari berjalan, Adi memasuki Binjai. Di sana, untuk pertama kalinya sejak banjir melanda, ponselnya berbunyi. Sinyal yang sempat hilang telah kembali.
Ia lalu berhenti di sebuah masjid, mengisi baterai ponselnya, agar bisa menelepon keluarganya. Suara di seberang telepon membuat dadanya terasa hangat bercampur lega dan haru setelah hari-hari dipenuhi ketidakpastian.
“Di kota Binjai saya akhirnya bisa isi batre hp dan ada jaringan, menghubungi keluarga akhirnya naik bus sampai medan,” ucapnya.
Warga Binjai kemudian membantunya naik bus menuju Medan. Tubuh yang kelelahan itu akhirnya tiba di sebuah warkop jurnalis di Jalan Agus Salim.
Di situ, ia disuguhi minuman hangat, dan diberi tempat untuk menenangkan diri.
Kisah Adi bukan sekadar pelarian dari bencana. Ini adalah potret keteguhan seorang guru muda yang berada jauh dari rumah, namun tetap berdiri tegak ketika keadaan memaksanya runtuh.
Ia kehilangan dokumen, uang, dan sebagian barang berharganya. Namun ia pulang membawa sesuatu yang jauh lebih berarti, cerita tentang keberanian manusia ketika dunia runtuh di sekelilingnya.
“Saya hanya ingin keluar dari sana,” katanya dengan senyum kecil.
Dan dengan langkah-langkah kecil yang ia ayunkan selama dua hari. Di antara banjir, penjarahan, dan jalanan berlumpur, Adi membuktikan bahwa manusia tetap mampu mencari cahaya meski hanya dengan berjalan kaki.
Pada 1 Desember, ketika air benar-benar surut, Adi memutuskan mengambil risiko terbesar dalam hidupnya untuk keluar dari Aceh Tamiang. Tujuannya sederhana, mencari sinyal agar bisa menghubungi keluarganya di Sumedang.
Kota Langsa kemudian menjadi pilihan, karena jaraknya yang relatif dekat. Ia mengayuh sepeda yang didapatnya, berharap jalanan sudah bisa dilalui.
Namun kenyataan tidak selalu sebaik rencana.
“Sepeda saya rusak. Jalan masih rusak berat, banyak yang terputus,” kenangnya.
Ia terhenti di tengah wilayah yang sunyi tak ada kendaraan, tak ada orang. Banjir telah memutuskan jalur, dan ia terjebak antara air dan daratan yang belum pulih. Tak ada pilihan selain kembali ke Aceh Tamiang.
Di titik inilah ia memutuskan sesuatu yang jauh lebih berat. Meneruskan berjalan kaki menuju Kota Medan dengan rasa lapar, takut, dan kesunyian
Pada 4 Desember, dengan tas penuh lumpur di punggung, Adi mulai berjalan. Beberapa kali ia mencoba menghentikan truk, namun para sopir menolak karena maraknya penjarahan truk sembako di jalan.
“Sopir-sopir truk setelah bawa sembako takut membawa penumpang, karena banyak truk dijarah. Saya ditolak,” ujarnya.
Ia terus berjalan. Sepasang kakinya jadi satu-satunya kendaraan yang masih bisa ia andalkan.
Di sepanjang jalan, makanan yang ia temukan hanyalah makanan kemasan yang mengambang di sekitar minimarket, sisa-sisa penjarahan yang ditinggalkan warga. Terkadang ada yang memberi makan, dan bahkan ia hanya menelan rasa lapar.
Saat malam tiba, ia tidur di gubuk-gubuk sepi yang ia temukan di pinggir jalan. Atapnya bocor, lantainya lembap, tapi itu cukup untuk sekadar mengistirahatkan tubuh.
“Uang tidak ada. Identitas saya hanyut semua,” katanya lirih.
Namun kakinya tak berhenti melangkah hingga akhirnya menemukan titik terang, ketika mengetahui masih ada kehidupan di kota Binjai pada Sabtu (6/12/2025).
Setelah dua hari berjalan, Adi memasuki Binjai. Di sana, untuk pertama kalinya sejak banjir melanda, ponselnya berbunyi. Sinyal yang sempat hilang telah kembali.
Ia lalu berhenti di sebuah masjid, mengisi baterai ponselnya, agar bisa menelepon keluarganya. Suara di seberang telepon membuat dadanya terasa hangat bercampur lega dan haru setelah hari-hari dipenuhi ketidakpastian.
“Di kota Binjai saya akhirnya bisa isi batre hp dan ada jaringan, menghubungi keluarga akhirnya naik bus sampai medan,” ucapnya.
Warga Binjai kemudian membantunya naik bus menuju Medan. Tubuh yang kelelahan itu akhirnya tiba di sebuah warkop jurnalis di Jalan Agus Salim.
Di situ, ia disuguhi minuman hangat, dan diberi tempat untuk menenangkan diri.
Kisah Adi bukan sekadar pelarian dari bencana. Ini adalah potret keteguhan seorang guru muda yang berada jauh dari rumah, namun tetap berdiri tegak ketika keadaan memaksanya runtuh.
Ia kehilangan dokumen, uang, dan sebagian barang berharganya. Namun ia pulang membawa sesuatu yang jauh lebih berarti, cerita tentang keberanian manusia ketika dunia runtuh di sekelilingnya.
“Saya hanya ingin keluar dari sana,” katanya dengan senyum kecil.
Dan dengan langkah-langkah kecil yang ia ayunkan selama dua hari. Di antara banjir, penjarahan, dan jalanan berlumpur, Adi membuktikan bahwa manusia tetap mampu mencari cahaya meski hanya dengan berjalan kaki.
