Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut mengkritik penanganan massa aksi oleh Polda Sumut di DPRD Sumut. KontraS menilai aksi polisi saat penanganan aksi demonstrasi brutal.
Kepala Operasional KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti mengatakan jika Polda Sumut mencoba memframing jika kepolisian melakukan penanganan yang humanis terhadap massa aksi melalui pemberitaan. Padahal berdasarkan pantauan mereka, apa yang dilakukan kepolisian justru brutal di lapangan.
“Tindakan brutal di balik framing humanis dalam penanganan massa aksi menunjukkan buruk rupa kepolisian dalam implementasi HAM,” kata Adinda Zahra Noviyanti dalam keterangannya, Rabu (27/8/2025).
Hal itu berangkat dari temuan mereka di lapangan justru menunjukkan aksi brutal terhadap massa aksi. Berbagai dokumentasi yang dihimpun menunjukkan kepolisian diduga telah melakukan serangkaian pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Di antaranya, penggunaan kekuatan berlebihan, tindakan kekerasan secara terstruktur dan sistematis berupa penyiksaan serta perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Serta intimidasi terhadap peserta aksi, pemeriksaan dan penggeledahan yang tidak sah, hingga upaya pembungkaman kebebasan pers melalui serangan terhadap jurnalis.
“Pelanggaran-pelanggaran ini tidak hanya mencederai prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi juga mencoreng wajah institusi kepolisian,” ucapnya.
KontraS menilai ada penggunaan kekuatan berlebihan yang menabrak Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Hal tersebut dilihat dari pengerahan sekitar 800 personel kepolisian. Jumlah tersebut tentu tidak proporsional terhadap jumlah peserta aksi yang bahkan tidak sampai 500 massa.
Selain itu, kehadiran Satuan Brimob yang menenteng senjata laras panjang memperkuat dugaan upaya intimidatif dan jauh dari prinsip pengamanan berbasis hak asasi manusia. Langkah ini mencerminkan pendekatan yang justru mengedepankan kekuatan berlebihan ketimbang komunikasi persuasif dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi warga.
Alih-alih meredam ketegangan, pola penanganan tersebut justru memperbesar potensi pelanggaran serta memperlihatkan kegagalan institusi kepolisian dalam menerapkan standar profesionalisme dan proporsionalitas dalam pengamanan aksi. Ini terbukti dari banyaknya masa aksi yang menjadi korban kekerasan.
“Kepolisian lagi-lagi tanpa malu telah mengangkangi aturan internalnya sendiri,” ujarnya.
Menurut KontraS, kepolisian telah melanggar Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dinda juga menjelaskan jika selain mengalami penyiksaan saat ditangkap, massa aksi juga tidak mendapatkan pendampingan hukum.
Data dari tim advokasi menunjukkan, ada 44 orang yang ditangkap polisi. Hingga Rabu (27/8/) pukul 05.00 WIB, tim advokasi tidak diberikan akses untuk memberikan pendampingan hukum. Bahkan, keluarga korban sama sekali tidak dapat melihat kondisi mereka yang ditahan. Padahal dalam proses pemeriksaan para korban mesti didampingi oleh penasehat hukum.
Upaya penghalangan ini dinilai melanggar ketentuan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Pasal 60 KUHAP. Dalam ketentuan itu dijelaskan bahwa setiap individu berhak memperoleh jaminan berupa waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaannya, serta berhak berkomunikasi dengan pengacara pilihan mereka sendiri secara bebas.
“Sejak awal tidak ada itikad baik dari Polda Sumut untuk memberikan akses pendampingan hukum kepada massa aksi yang ditahan adalah bentuk pelanggaran HAM,” ungkapnya.
Berdasarkan pemantauan KontraS peserta aksi yang ditangkap mengalami aksi kekerasan berupa dipukul, dipiting, didorong, diseret dan ditendang menyebabkan belasan masa aksi terluka. Bahkan, seorang masa aksi harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami kejang setelah disiksa polisi.
Lebih lanjut tim advokasi yang terdiri dari KontraS Sumut, LBH Medan, dan Bakumsu mendesak Polda Sumut membebaskan 44 peserta aksi yang ditahan. Selain itu KontraS juga mendorong Komnas HAM melakukan investigasi yang segera dan menyeluruh atas semua tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian selama aksi.
“Upaya menggiring narasi seolah aparat telah bertindak sesuai prosedur yang disampaikan oleh Polda Sumut merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab sekaligus cerminan dari kecenderungan institusi untuk mencuci tangan atas pelanggaran yang terjadi. Alih-alih melakukan evaluasi dan penegakan hukum secara transparan, kepolisian justru berusaha membungkam kritik dan menutupi pelanggaran melalui retorika yang tidak sejalan dengan realitas di lapangan,” tutupnya.
KontraS Sebut Ada Pelanggaran HAM
Selain itu, kehadiran Satuan Brimob yang menenteng senjata laras panjang memperkuat dugaan upaya intimidatif dan jauh dari prinsip pengamanan berbasis hak asasi manusia. Langkah ini mencerminkan pendekatan yang justru mengedepankan kekuatan berlebihan ketimbang komunikasi persuasif dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi warga.
Alih-alih meredam ketegangan, pola penanganan tersebut justru memperbesar potensi pelanggaran serta memperlihatkan kegagalan institusi kepolisian dalam menerapkan standar profesionalisme dan proporsionalitas dalam pengamanan aksi. Ini terbukti dari banyaknya masa aksi yang menjadi korban kekerasan.
“Kepolisian lagi-lagi tanpa malu telah mengangkangi aturan internalnya sendiri,” ujarnya.
Menurut KontraS, kepolisian telah melanggar Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dinda juga menjelaskan jika selain mengalami penyiksaan saat ditangkap, massa aksi juga tidak mendapatkan pendampingan hukum.
Data dari tim advokasi menunjukkan, ada 44 orang yang ditangkap polisi. Hingga Rabu (27/8/) pukul 05.00 WIB, tim advokasi tidak diberikan akses untuk memberikan pendampingan hukum. Bahkan, keluarga korban sama sekali tidak dapat melihat kondisi mereka yang ditahan. Padahal dalam proses pemeriksaan para korban mesti didampingi oleh penasehat hukum.
Upaya penghalangan ini dinilai melanggar ketentuan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Pasal 60 KUHAP. Dalam ketentuan itu dijelaskan bahwa setiap individu berhak memperoleh jaminan berupa waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaannya, serta berhak berkomunikasi dengan pengacara pilihan mereka sendiri secara bebas.
“Sejak awal tidak ada itikad baik dari Polda Sumut untuk memberikan akses pendampingan hukum kepada massa aksi yang ditahan adalah bentuk pelanggaran HAM,” ungkapnya.
KontraS Sebut Ada Pelanggaran HAM
Berdasarkan pemantauan KontraS peserta aksi yang ditangkap mengalami aksi kekerasan berupa dipukul, dipiting, didorong, diseret dan ditendang menyebabkan belasan masa aksi terluka. Bahkan, seorang masa aksi harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami kejang setelah disiksa polisi.
Lebih lanjut tim advokasi yang terdiri dari KontraS Sumut, LBH Medan, dan Bakumsu mendesak Polda Sumut membebaskan 44 peserta aksi yang ditahan. Selain itu KontraS juga mendorong Komnas HAM melakukan investigasi yang segera dan menyeluruh atas semua tindak kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian selama aksi.
“Upaya menggiring narasi seolah aparat telah bertindak sesuai prosedur yang disampaikan oleh Polda Sumut merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab sekaligus cerminan dari kecenderungan institusi untuk mencuci tangan atas pelanggaran yang terjadi. Alih-alih melakukan evaluasi dan penegakan hukum secara transparan, kepolisian justru berusaha membungkam kritik dan menutupi pelanggaran melalui retorika yang tidak sejalan dengan realitas di lapangan,” tutupnya.