Musik Minang terus berkembang dan melahirkan karya-karya fenomenal yang tak lekang oleh waktu. Salah satu tembang yang hingga kini masih eksis dan sering didendangkan adalah “Kandak Rang Tuo”, sebuah mahakarya dari musisi Minang populer, Ipank.
Lagu ini berhasil menyentuh hati banyak pendengar, terbukti dengan banyaknya dinyanyikan kembali oleh penyanyi Minang lainnya seperti Rayola dan Eno Viola.
Kepopuleran “Kandak Rang Tuo” bukan tanpa alasan. Alunan musiknya yang mendayu dipadukan dengan lirik puitis khas Minang mampu membawa pendengar larut dalam sebuah kisah cinta yang tragis dan relevan dengan banyak orang.
Lagu ini menjadi bukti bahwa musik Minang modern, dengan perpaduan instrumen tradisional dan kontemporer, mampu melestarikan budaya sekaligus diterima oleh generasi muda. Tentunya dengan lirik yang dibawakan sang penyanyi memengaruhi popularitas lagu ini.
Nah, infoers ingin tahu lirik dan makna di baliknya? Yuk, intip lirik dan maknanya di bawah ini.
Dalamnyo jurang
Rusuah hati ko tagamang
Jauah mato mamandang
Ka langik tinggi manarawang
Lapuak kayu nan adiak sandari
Kudian hari sasalan tibo
Turuikkan sajo kandak rang tuo
Rilakan denai rang biaso
Bansaik diri adiak kan tahu
Jalan hiduik nan salamo ko
Dudu
Jauah mato mamandang
Ka langik tinggi manarawang
Lapuak kayu nan adiak sandari
Kudian hari sasalan tibo
Turuikkan sajo kandak rang tuo
Rilakan denai rang biaso
Bansaik diri adiak kan tahu
Jalan hiduik nan salamo ko
Dudu
Dudu
Secara harfiah, “Kandak Rang Tuo” berarti “Keinginan Orang Tua”. Judul ini secara langsung merangkum inti dari keseluruhan cerita lagu. Lagu ini berkisah tentang perjuangan batin dan kepiluan sepasang kekasih yang cintanya tulus namun harus kandas karena terhalang restu dari orang tua pihak perempuan.
Sang pria, dengan berat hati, menyadari posisinya yang mungkin dipandang tidak sepadan. Ia mencoba berlapang dada dan bahkan meminta kekasihnya untuk mengikhlaskan hubungan mereka dan menuruti pilihan orang tuanya.
Lirik “Turuikkan sajo kandak rang tuo, rilakan denai rang biaso” (Turutilah saja keinginan orang tua, relakan aku orang biasa) menjadi puncak dari kebesaran hatinya. Ia meyakini bahwa jika sang kekasih memaksakan untuk hidup bersamanya, ia hanya akan sengsara (“Adiak juo nan ka taseso“).
Metafora yang kuat juga digunakan dalam lirik “Bialah biduak karam di tapi, daripado karam di tangan” (Biarlah perahu karam di tepi, daripada karam di tengah lautan). Ini menggambarkan bahwa lebih baik ia menanggung sakitnya perpisahan ini sendirian daripada membawa kekasihnya ke dalam kehidupan yang penuh kesulitan bersamanya.