Menentukan Mahar Pernikahan Anak, Bolehkah Orang Tua Ikut Campur?

Posted on

Mahar merupakan salah satu syarat sah dalam pernikahan yang memiliki makna penting, baik secara agama maupun sosial. Dalam praktiknya, penentuan mahar sering kali melibatkan orang tua, terutama sebagai bentuk nasihat, tradisi keluarga, atau pertimbangan kemampuan calon mempelai.

Tidak jarang campur tangan ini memunculkan pertanyaan tentang batas peran orang tua dalam urusan mahar anak yang akan menikah. Lantas, bolehkah orang tua ikut menentukan mahar pernikahan anak?

Pertanyaan ini perlu ditinjau dari sudut pandang agama dan hukum pernikahan, khususnya terkait hak calon mempelai perempuan sebagai penerima mahar serta prinsip kesepakatan dan kerelaan dalam pernikahan.

Dikutip infoHikmah dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 5, Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam, secara bahasa (etimologi), mahar berasal dari kata ‘al-mahr’ dan juga disebut ‘shadaaq’. Artinya penyerahan harta sebagai bukti keinginan untuk melangsungkan akad nikah.

Sementara itu, secara istilah (terminologi fikih), mahar adalah harta yang wajib diserahkan oleh mempelai pria kepada wanita karena telah diperbolehkan bersenang-senang dengannya, termasuk dalam konteks hubungan seksual.

Di sisi lain, peran wali nikah juga sangat vital, terutama dalam memastikan keabsahan akad. Kedudukan wali yang penting ini terkadang menimbulkan pertanyaan di masyarakat: Apakah seorang wali atau orang tua berhak ikut campur dalam menentukan nilai mahar untuk anaknya yang akan menikah?

Jawaban atas pertanyaan ini harus ditinjau kembali dari sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan hadits, serta penjelasan para ulama.

Untuk memahami hakikat mahar, penting untuk melihat praktik pernikahan yang dilarang oleh Rasulullah SAW, yaitu nikah syighar yang terjadi pada masa jahiliah.

Rasulullah SAW secara tegas melarang bentuk pernikahan ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Muslim:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ ﷺ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ

Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar RA: Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Adapun syighar ialah seorang laki-laki menikahkan putrinya kepada laki-laki lain dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya (kepada dirinya). Keduanya tidak memberikan mahar (untuk para perempuan itu).” (HR Muslim)

Mengutip laman Kemenag, Dr. Musa Syahin Lasyin, seorang ulama hadits terkemuka dari Universitas al-Azhar Kairo, menjelaskan bahwa pada masa jahiliah, para wali perempuan sering kali menganggap mahar sebagai hak milik mereka sendiri, bukan hak perempuan yang dinikahkan.

Praktik syighar adalah salah satu contoh ekstrem di mana wali menukar perwalian tanpa memberikan mahar kepada perempuan yang dinikahkan, menjadikan perempuan sebagai objek pertukaran.

Ketika Islam datang, praktik zalim itu dihapuskan. Islam menetapkan prinsip yang jelas dan adil mengenai mahar:

Intinya, wali tidak memiliki hak mutlak untuk menentukan atau memaksakan nilai mahar. Sebab kepemilikan mahar ada pada calon istri.

Meskipun wali tidak berhak menentukan mahar secara sepihak, bukan berarti perannya hilang sepenuhnya dalam urusan mahar. Sebagai pihak yang bertanggung jawab melindungi dan membimbing mempelai perempuan, wali memiliki hak untuk:

Memberikan nasihat dan pertimbangan: Wali dapat menasihati anak perempuannya mengenai nilai mahar yang ideal.

Memberi arahan: Wali dapat memberikan arahan agar nilai mahar yang disepakati sesuai dengan standar kelayakan (misalnya, tidak terlalu sedikit hingga merendahkan) dan kemampuan finansial mempelai pria (agar tidak memberatkan dan menimbulkan utang).

Peran wali di sini adalah sebagai pelindung dan pembimbing. Memastikan keputusan yang diambil oleh anak perempuannya adalah yang terbaik dan tidak merugikan pihak mana pun.

Hukum Mahar Ditentukan oleh Orang Tua

Untuk memahami hakikat mahar, penting untuk melihat praktik pernikahan yang dilarang oleh Rasulullah SAW, yaitu nikah syighar yang terjadi pada masa jahiliah.

Rasulullah SAW secara tegas melarang bentuk pernikahan ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Muslim:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ ﷺ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ

Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar RA: Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Adapun syighar ialah seorang laki-laki menikahkan putrinya kepada laki-laki lain dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya (kepada dirinya). Keduanya tidak memberikan mahar (untuk para perempuan itu).” (HR Muslim)

Mengutip laman Kemenag, Dr. Musa Syahin Lasyin, seorang ulama hadits terkemuka dari Universitas al-Azhar Kairo, menjelaskan bahwa pada masa jahiliah, para wali perempuan sering kali menganggap mahar sebagai hak milik mereka sendiri, bukan hak perempuan yang dinikahkan.

Praktik syighar adalah salah satu contoh ekstrem di mana wali menukar perwalian tanpa memberikan mahar kepada perempuan yang dinikahkan, menjadikan perempuan sebagai objek pertukaran.

Ketika Islam datang, praktik zalim itu dihapuskan. Islam menetapkan prinsip yang jelas dan adil mengenai mahar:

Intinya, wali tidak memiliki hak mutlak untuk menentukan atau memaksakan nilai mahar. Sebab kepemilikan mahar ada pada calon istri.

Hukum Mahar Ditentukan oleh Orang Tua

Meskipun wali tidak berhak menentukan mahar secara sepihak, bukan berarti perannya hilang sepenuhnya dalam urusan mahar. Sebagai pihak yang bertanggung jawab melindungi dan membimbing mempelai perempuan, wali memiliki hak untuk:

Memberikan nasihat dan pertimbangan: Wali dapat menasihati anak perempuannya mengenai nilai mahar yang ideal.

Memberi arahan: Wali dapat memberikan arahan agar nilai mahar yang disepakati sesuai dengan standar kelayakan (misalnya, tidak terlalu sedikit hingga merendahkan) dan kemampuan finansial mempelai pria (agar tidak memberatkan dan menimbulkan utang).

Peran wali di sini adalah sebagai pelindung dan pembimbing. Memastikan keputusan yang diambil oleh anak perempuannya adalah yang terbaik dan tidak merugikan pihak mana pun.