Pelestarian orangutan membutuhkan kerja berkelanjutan dan respons cepat di lapangan. Ancaman terhadap orangutan masih terus terjadi, mulai dari perburuan hingga kerusakan habitat.
Di tengah kondisi tersebut, Centre for Orangutan Protection (COP) hadir sebagai organisasi yang bergerak di garis depan penyelamatan orangutan melalui aksi langsung di lapangan.
COP didirikan pada Mei 2007. Organisasi ini lahir dari keresahan para pendirinya yang menilai upaya konservasi orangutan saat itu berjalan terlalu lambat, birokratis, dan cenderung ‘terlalu sopan’. Sementara di lapangan, pembantaian orangutan terjadi secara cepat dan brutal.
Dari situ, COP memosisikan diri sebagai frontliner konservasi, layaknya pasukan khusus yang siap bergerak cepat, berani berkonfrontasi, dan fokus pada aksi nyata.
Kini, tim COP tersebar di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Kalimantan Timur, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. COP juga menjadi mitra aktif Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di beberapa provinsi. Selain itu, COP memiliki basis relawan bernama Orangufriends yang tersebar di seluruh Indonesia dan siap turun membantu saat dibutuhkan.
Bukhari, yang adalah bagian dari tim di Pusat Rehabilitasi Satwa (SRA) di Besitang mengatakan COP memiliki mimpi besar agar orangutan tetap hidup liar di habitat alaminya. Tidak ingin generasi mendatang hanya mengenal orangutan lewat foto, video, atau bahkan gambar buatan AI.
“Mimpi besar COP adalah orangutan tetap hidup liar di habitatnya, supaya generasi mendatang tidak hanya mengenal orangutan lewat poto, video atau hasil AI,” ungkapnya pada infoSumut, Rabu (17/12/2025)
Khusus di Sumatera Utara, kerja COP terbagi di beberapa lokasi. Di Kota Medan, COP fokus pada edukasi, kampanye, urban rescue, serta penyusunan ruang edukasi di pusat konservasi gajah ANECC. Di Pakpak Bharat, tepatnya di SM Siranggas, COP tengah membangun pusat penelitian orangutan.
Sementara di Sipirok, COP melakukan patroli kawasan dan penyadartahuan masyarakat. Adapun di Besitang, COP mengelola pusat rehabilitasi satwa liar Sumatran Rescue Alliance (SRA) untuk merawat satwa hasil perdagangan ilegal dan perburuan sebelum dilepasliarkan kembali.
Seiring waktu, tantangan yang dihadapi COP juga berubah. Pada era 2000-an, perdagangan orangutan masih banyak terjadi secara fisik di pasar burung atau pasar gelap, dengan ancaman utama berupa penebangan liar. Kini, kejahatan itu bergeser ke ranah siber.
Perdagangan satwa liar pindah ke media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram, dengan transaksi yang lebih tertutup dan sulit dilacak. Situasi ini diperparah dengan maraknya konten influencer yang memelihara satwa liar dan menjadikannya bahan tontonan.
Bukhari, juga menceritakan ancaman lain yang tak kalah besar orangutan adalah fragmentasi habitat. Pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit dan pertambangan membuat orangutan terisolasi di blok-blok hutan kecil.
“Pembukaan lahan besar-besaran seperti sawit, pertambangan membuat mereka rentan dibunuh karena dianggap hama oleh warga atau pekerja kebun,” ujarnya.
Ke depan, COP berharap masyarakat berhenti melihat orangutan sebagai hewan lucu untuk dipelihara, dan mulai memandangnya sebagai penjaga hutan yang harus hidup liar.
Bukhari, menyampaikan harapannya terhadap generasi muda untuk tidak berhenti empati di media sosial, tetapi menjadi ‘mata dan telinga’ konservasi. Mulai dari melaporkan perdagangan satwa di media sosial melalui patroli siber, ikut kampanye edukasi ke sekolah lewat program COP School, hingga lebih bijak memilih produk yang tidak merusak habitat orangutan.
“Berharap untuk generasi muda untuk empati di sosial media, jd mata dn telinga konservasi, melaporkan perdagangan satwa di sosmed lewat patroli siber, ikut edukasi ke sekolah, hingga lebih bijak memilih produk yang tidak merusak habitat,” tutupnya.
Gimana infoers, mau kan bagian dari kader konservasi yang militan, berani bersuara, dan siap menjaga hutan beserta penghuninya agar tetap lestari.
Artikel ini ditulis Nanda M Marbun, Peserta MagangHub Kemnaker di infocom.
Menjaga Orangutan Tetap Liar di Habitatnya
Dari Pasar Gelap ke Media Sosial
Mencetak Kader Konservasi
Seiring waktu, tantangan yang dihadapi COP juga berubah. Pada era 2000-an, perdagangan orangutan masih banyak terjadi secara fisik di pasar burung atau pasar gelap, dengan ancaman utama berupa penebangan liar. Kini, kejahatan itu bergeser ke ranah siber.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Perdagangan satwa liar pindah ke media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram, dengan transaksi yang lebih tertutup dan sulit dilacak. Situasi ini diperparah dengan maraknya konten influencer yang memelihara satwa liar dan menjadikannya bahan tontonan.
Bukhari, juga menceritakan ancaman lain yang tak kalah besar orangutan adalah fragmentasi habitat. Pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan sawit dan pertambangan membuat orangutan terisolasi di blok-blok hutan kecil.
“Pembukaan lahan besar-besaran seperti sawit, pertambangan membuat mereka rentan dibunuh karena dianggap hama oleh warga atau pekerja kebun,” ujarnya.
Ke depan, COP berharap masyarakat berhenti melihat orangutan sebagai hewan lucu untuk dipelihara, dan mulai memandangnya sebagai penjaga hutan yang harus hidup liar.
Bukhari, menyampaikan harapannya terhadap generasi muda untuk tidak berhenti empati di media sosial, tetapi menjadi ‘mata dan telinga’ konservasi. Mulai dari melaporkan perdagangan satwa di media sosial melalui patroli siber, ikut kampanye edukasi ke sekolah lewat program COP School, hingga lebih bijak memilih produk yang tidak merusak habitat orangutan.
“Berharap untuk generasi muda untuk empati di sosial media, jd mata dn telinga konservasi, melaporkan perdagangan satwa di sosmed lewat patroli siber, ikut edukasi ke sekolah, hingga lebih bijak memilih produk yang tidak merusak habitat,” tutupnya.
Gimana infoers, mau kan bagian dari kader konservasi yang militan, berani bersuara, dan siap menjaga hutan beserta penghuninya agar tetap lestari.
Artikel ini ditulis Nanda M Marbun, Peserta MagangHub Kemnaker di infocom.







