Ada empat potensi maladministrasi dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditemukan oleh Ombudsman. Hal itu menjadi bukti lemahnya tata kelola program MBG.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan empat bentuk maladministrasi itu meliputi penundaan berlarut, diskriminasi, ketidakmampuan/inkompetensi, dan penyimpangan prosedur. Yeka menyebut, kondisi ini mencerminkan lemahnya tata kelola dan berisiko menghambat tujuan utama program MBG.
“Empat bentuk maladministrasi ini bukan hanya mencerminkan lemahnya tata kelola, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan publik-kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009-harus ditegakkan secara konsisten,” katanya dikutip dari laman Ombudsman, Jumat (3/10/2025) seperti diberitakan infoEdu.
Yeka menyebut program MBG menargetkan penerima yang tinggi yakni 82,9 juta orang dengan anggaran Rp 71 triliun pada 2025 dan Badan Gizi Nasional (BGN) pun ditunjuk sebagai koordinator utama. Berdasarkan data Ombudsman hingga September 2025, diketahui baru 26,7% Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berfungsi. Ombudsman mengungkap hal ini berpotensi sebabkan tidak tercapainya target.
Yeka mengatakan perlu ada banyak perbaikan dalam pelaksanaan MBG mulai dari perbaikan regulasi kemitraan yang transparan, pelibatan penuh BPOM dalam pengawasan keamanan pangan, hingga penguatan SDM dan administrasi. Saran dari Ombudsman, pemerintah perlu membangun dashboard digital untuk memantau kualitas bahan, distribusi, dan penggunaan anggaran secara real time.
Selain itu, guru yang terlibat distribusi diminta mendapat perlindungan dan kompensasi. “Bagi SPPG yang telah menimbulkan insiden kesehatan harus dihentikan untuk dievaluasi. SPPG yang berjalan normal tetap dipantau dan dipastikan tidak terjadi insiden kesehatan di kemudian hari. Bagi yang belum beroperasi, harus memenuhi sertifikasi keamanan pangan dan semua SOP dilakukan menuju zero incident,” tegas Yeka.