Populasi Pesut Mahakam Terancam Punah, Hanya Tinggal 62 Ekor baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Populasi pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Jumlahnya kini hanya tersisa 62 ekor.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan penurunan ini bukan hanya menandakan spesies langka yang hanya hidup di Sungai Mahakam itu kian terancam, tapi juga mencerminkan kondisi krisis ekologi di sungai tersebut.

Hanif menegaskan bahwa pesut Mahakam merupakan mamalia air tawar endemik Indonesia yang sudah masuk dalam daftar satwa terancam punah.

“Angka ini bukan sekadar data statistik. Ini merupakan indikator kuat degradasi ekosistem yang memerlukan perhatian dan tindakan segera,” ujar Hanif, dilansir infoTravel dari Antara, Senin (7/7).

Menurut Hanif, ancaman terhadap keberlangsungan pesut Mahakam mencerminkan tekanan sistemik yang tengah dialami ekosistem Sungai Mahakam. Penurunan populasi ini menunjukkan bahwa keberlanjutan fungsi sungai sebagai penopang kehidupan ribuan spesies dan masyarakat lokal sedang berada di titik kritis.

“Pelestarian Pesut Mahakam melampaui kepentingan satu spesies; ini adalah upaya vital untuk menjaga keseimbangan ekologis Sungai Mahakam yang menopang kehidupan ribuan spesies dan masyarakat lokal,” tambahnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan upaya pelestarian pesut Mahakam sebagai bagian dari agenda prioritas nasional dalam menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. Untuk itu, diperlukan pendekatan kolaboratif lintas sektor, melibatkan berbagai pihak seperti kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat adat, hingga LSM. Pendekatan ini harus berbasis pada aksi nyata yang terintegrasi.

Pesut Mahakam sendiri merupakan sub-populasi langka dari lumba-lumba Irrawaddy, yang hanya ditemukan di Sungai Mahakam. Ciri khasnya antara lain tubuh berwarna abu-abu, tanpa moncong, serta perilaku sosial yang kompleks. Hewan ini bukan hanya simbol kekayaan hayati, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat Kalimantan Timur.

Sayangnya, spesies ini kini menghadapi ancaman serius akibat berbagai faktor, seperti pencemaran limbah tambang dan domestik, tabrakan dengan kapal tongkang, serta praktik perikanan ilegal seperti penggunaan setrum dan bom ikan.

“Konservasi tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan sinergi dari hulu ke hilir, dari perumusan kebijakan hingga aksi nyata di lapangan. Partisipasi aktif masyarakat, khususnya generasi muda, sangat krusial dalam menemukan solusi yang berkelanjutan,” tegas Hanif.