Lokasi bekas Rumoh Geudong tempat pelanggaran HAM berat di Pidie, Aceh, berubah menjadi Memorial Living Park. Di tempat itu dibangun taman bermain serta masjid.
Memorial Living Park ini berlokasi di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga. Dari luar, tempat ini layaknya taman serta masjid biasa.
Namun ada jejak kengerian Rumoh Geudong yang disisakan. Di gerbang masuk ke kompleks ini terdapat sebuah sumur yang diyakini jejak rumah yang dibakar pada 1998 usai pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM).
Di sebelah kiri dari pintu masuk, terdapat tangga terbuat dari beton. Lima anak tangga itu tidak dihancurkan saat pembangunan Living Park dan menjadi penanda bekas Rumoh Geudong.
Tak jauh dari masjid, terdapat monumen menyerupai nisan berukuran besar. Di bawah ‘nisan’ itu dikuburkan tulang belulang yang ditemukan semasa pembangunan Living Park.
“Di sini dikuburkan tulang-belulang manusia yang diduga merupakan korban peristiwa Rumoh Geudong. Tulang belulang ini ditemukan di lokasi pembangunan Memorial Living Park secara bertahap pada bulan Oktober-November 2023,” bunyi pesan di ‘nisan’ tersebut seperti dikutip infoSumut, Minggu (13/7/2025).
Usai resmikan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, masjid itu dipakai masyarakat untuk melaksanakan salat Fardhu. Selain untuk beribadah, masyarakat yang datang ke sana juga dapat bermain di sekitar masjid.
Di sana juga tersedia beberapa pondok yang dapat dipakai untuk beristirahat. Lokasi kompleks yang dibangun dengan anggaran Rp13,2 miliar itu tidak jauh dari jalan Banda Aceh-Medan sehingga cukup mudah untuk singgahi.
“Memorial living park ini dibangun bukan hanya sebagai simbol peringatan tapi juga sebagai wujud kehadiran negara yang memberikan ruang aman dan bermartabat bagi para penyintas, keluarga korban dan masyarakat luas untuk mengenang, berdialog serta membangun masa depan yang lebih damai, adil dan bermartabat,” kata Yusril dalam sambutannya, Kamis (10/7).
Yusril menyebutkan, pembangunan taman itu menjadi bukti kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta masyarakat sipil dalam membangun pendekatan kemanusiaan yang berkelanjutan. Setelah diresmikan, memorial itu akan dirawat Pemerintah Pusat bersama pemerintah daerah.
“Di sinilah pentingnya kita merawat memori kolektif bangsa agar tragedi serupa tidak terulang lagi di masa-masa yang akan datang,” jelas Yusril.
Selengkapnya di Halaman Berikutnya…
Tragedi Rumoh Geudong
Rumoh Geudong dibangun Ampon Raja Lamkuta pada tahun 1818. Rumah itu pernah dijadikan tempat mengatur strategi saat perang melawan Belanda dan basis perjuangan melawan Jepang.
Semasa pemerintah orde baru memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, rumah itu dipakai tentara sebagai Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis). Saat itulah diduga terjadi penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan dalam rentang waktu 1989-1998.
Seorang korban, Thahir, dibawa ke Rumoh Geudong setelah dituduh menyimpan senjata AK milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tuduhan itu berdasarkan informasi dari seorang cuak (informan) yang ditangkap sebelumnya.
Setiba di Rumoh Geudong, Thahir dipukul. Dia tidak mengakui perbuatannya karena merasa tidak menyimpan senjata dan tidak mengetahui tentang kegiatan GAM.
Tentara memaksanya agar mengaku. Namun karena tetap menolak, Thahir disebut dimaki-maki, diikat, ditelanjangi serta disetrum kemaluan dan kaki.
“Ia juga dipukul dengan rantai dan dipukul dengan rotan, kabel dan rantai kendaraan. Karena tetap tidak mengetahui keterlibatannya, ia ditahan hingga 29 hari dan disiksa setiap hari di ruang bawah tanah Rumoh Geudong hingga pingsan,” tulis buku ‘Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu’ yang diterbitkan KontraS tahun 2006 dan dikutip infoSumut, Minggu (25/6/2023).
Dalam buku itu disebutkan, selama ditahan di sana, Thahir mendengar suara orang-orang disiksa dan melihat orang meninggal akibat penganiayaan. Ketika akan dilepas, Thahir sempat diancam militer.
“Anda-anda yang sudah di sini, hati-hati pulang ke kampung dan katakan kepada masyarakat desa bahwa kami tidak melakukan apa-apa pada Anda semua selama di Rumoh Geudong,” pesan militer.
Setelah masa DOM dicabut, rumah itu dibakar massa. Di sana hanya tinggal tangga serta sisa bangunan. Lokasinya dipenuhi semak ilalang.
“Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh,” kata Direktur Paska Aceh Farida Haryani dalam keterangannya, Kamis (22/6).
Pada awal Januari 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah Rumoh Geudong.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat,” kata Jokowi dalam konferensi pers, Rabu (11/1) seperti dikutip dari infoNews.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Jokowi juga bersimpati kepada korban dan keluarga korban. “Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban,” ungkapnya.