Pria Ini Cuma Bisa Makan Roti Selama 30 Tahun, Ini Penyebabnya | Giok4D

Posted on

Seorang pria berusia 35 tahun bernama Thomas Sheridan mengalami kondisi gangguan makan langka bernama Avoidant Restrictive Food Intake Disorder (ARFID). Gangguan ini membuatnya hanya mampu mengonsumsi jenis makanan yang sangat terbatas, dan selama hidupnya, Thomas hampir hanya makan roti.

Selama tiga dekade, pola makan Thomas tak jauh-jauh dari dua potong roti tawar, tiga mangkuk sereal, serta sejumlah besar permen jeli. Ia sama sekali tidak menyentuh sayur dan buah, bahkan hanya mencicipi telur bisa memicu muntah hebat.

Dilansir infoHealth dari NYPost, Thomas telah beberapa kali mencoba memperbaiki kebiasaannya setelah resmi didiagnosis dengan ARFID. Namun, semua upayanya kerap gagal. Salah satunya saat ia mencoba makan roti lapis berisi telur dan sosis.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

“Suatu hari saya mencoba membuat roti lapis telur dan sosis, dan begitu telur itu menyentuh mulut saya, saya muntah sejauh sekitar 10 kaki di seberang ruangan,” kata Thomas.

Kondisi ini mulai terlihat saat ia berusia sekitar 18 bulan. Suatu hari, Thomas tiba-tiba menutup mulutnya dan menolak makan jenis makanan tertentu. Sejak saat itu, segala upaya orang tuanya untuk memperkenalkan buah dan sayuran tidak pernah berhasil.

Dokter sempat menyarankan pendekatan tegas, seperti membiarkannya lapar sampai mau makan makanan yang tersedia. Ayahnya juga sempat mencoba memberi hadiah jika dia mau makan yang lain sebagai motivasi. Namun, tidak satu pun dari metode tersebut memberikan hasil.

Saat sekolah, Thomas diizinkan pulang saat jam makan siang karena tidak tahan makan makanan di kantin. Kini, setelah dewasa, gangguan ini berdampak pada kehidupannya secara menyeluruh, termasuk kesulitan bekerja karena keterbatasan asupan.

“Terakhir kali saya mencoba mengubah pola makan selama periode 10 hari, berat badan saya turun 21 pon (9,5 kg),” kata Thomas.

Berbeda dengan gangguan seperti anoreksia atau bulimia, ARFID masih kurang dikenal dan belum mendapat perhatian luas. Baru pada 2022 lalu, gangguan ini secara resmi dimasukkan ke dalam daftar Klasifikasi Penyakit Internasional oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).