Riau For Green di Panggung Diplomasi Dunia Diapresiasi Praktisi, Ini Alasannya

Posted on

Iben Nuriska, penyair sekaligus pengamat kebijakan publik menyoroti tema lingkungan dalam karya dan refleksinya. Ia menyampaikan apresiasi atas langkah yang diambil Gubernur Riau Abdul Wahid dalam program Riau For Green yang hadir dalam kegiatan London Climate Action Week.

Iben Nuriska mengungkapkan di Riau ini, asap bukan sekadar kenangan buruk. Ia pernah menjadi musim. Sekolah-sekolah ditutup, napas menjadi pendek, dan langit kehilangan warna.

Kebakaran lahan dan hutan tak datang tanpa sebab. Namun dia lahir dari sistem yang membiarkan tanah dibuka, hutan ditebang dan air surut tanpa perhitungan.

Selama bertahun-tahun, provinsi ini disebut dalam laporan internasional sebagai salah satu titik krisis lingkungan terparah di Asia Tenggara. Namun di tengah reputasi yang suram itu arah baru perlahan mulai disusun.

“Kehadiran Gubernur Riau, H. Abdul Wahid, dalam forum internasional bertajuk REDD+ Investment Opportunities: Supply and Demand Roundtable di London, memberi isyarat penting bahwa diplomasi iklim kini bukan lagi domain eksklusif Jakarta,” kata Iben, Rabu (25/6/2025).

Iben menyebut dalam forum yang merupakan bagian dari London Climate Action Week itu, berbagai aktor utama global berkumpul, dari korporasi seperti Shell, Microsoft, dan Citigroup, hingga lembaga keuangan internasional dan perwakilan pemerintah seperti Greater London Authority dan Standard Chartered.

Dia menerangkan, di ruang-ruang perundingan itu, Riau tak lagi dibicarakan dari kejauhan. Ia hadir langsung, menawarkan potensi, bukan sekadar menjelaskan persoalan.

“REDD+, singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, merupakan skema internasional untuk menurunkan emisi karbon melalui pelestarian hutan dan dukungan pendanaan lintas negara. Dalam kerangka ini, negara berkembang yang menjaga hutannya dapat menerima insentif dari negara-negara maju atau sektor swasta yang mencari mekanisme kompensasi karbon,” tuturnya.

Iben Nuriska mengungkap, yang dibawa Riau bukan sekadar partisipasi formal. Melalui kebijakan Green for Riau, kesiapan arsitektur REDD+ di tingkat provinsi, serta koordinasi lintas kementerian yang telah ditempuh sejak awal masa jabatan Abdul Wahid, tampak ada ikhtiar nyata untuk berpindah dari posisi penerima dampak menjadi penyusun solusi.

Dia mengungkapkan, tidak mudah mengubah citra provinsi yang identik dengan deforestasi menjadi mitra dalam konservasi, namun pendekatan yang dibangun bukan tentang pencitraan, melainkan keseriusan dalam menata ulang fondasi kebijakan.

Kepercayaan publik internasional tak dibangun dalam sehari. Tapi ketika calon pembeli kredit karbon menyatakan minat secara terbuka, ada sinyal bahwa niat baik itu mulai menemukan muaranya.

“Transparansi dan konsistensi menjadi kunci. Sebab, diplomasi kali ini tidak dibangun dari pidato dan baliho, melainkan dari penyusunan kerangka kerja, dari proses yang tekun, dan dari keberanian memulai di tengah keterbatasan,” katanya.

Penyair sekaligus pengamat kebijakan publik menambahkan, pembangunan berkelanjutan tidak berarti menolak investasi, melainkan menata ulang prioritas pertumbuhan.

Dia menerangkan, di banyak wilayah, ekonomi hijau hanya menjadi kemasan baru dari eksploitasi lama. Tapi di Riau, upaya menjadikan skema karbon sebagai jembatan antara kepentingan manusia, tanah, dan negara mulai tampak konkret, setidaknya dari arah yang diambil.

Lalu katanya, potensi nyatanya akan terlihat saat dana karbon, hasil pemantauan satelit, dan insentif internasional benar-benar menjangkau desa-desa pinggir hutan.

“Ketika masyarakat adat, petani kecil, dan koperasi lokal mulai merasakan manfaat langsung dari komitmen ekologis, maka diplomasi yang semula berpusat di kota besar dunia itu, akan menemukan akar di tempat yang seharusnya: di hutan dan tanah yang dijaga,” lanjutnya.

Iben Nuriska mengatakan, gaya kepemimpinan Gubri Abdul Wahid tidak bertumpu pada simbol atau pernyataan besar. Justru di situlah letak kekuatannya. Pendekatan yang menjauh dari sorotan dan memilih bekerja dalam proses telah memberi ruang bagi kepercayaan untuk tumbuh secara alami.

Menurutnya, Gubri Abdul Wahid datang tidak dengan janji penyelamatan besar-besaran, melainkan ruang-ruang kerja konkret yang terbuka. Oleh sebab itu, kepercayaan publik hadir bukan karena retorika, tapi karena kontinuitas yang konsisten dan berdaya.

Jelasnya, yang membuat diplomasi ini penting bukan semata hasil yang dibawa pulang, tetapi arah yang diambil. Saat banyak daerah sibuk mencari dana, Riau justru menunjukkan bahwa kehormatan juga bisa datang dari kemampuan menjaga, bukan membabat. Bahwa arah masa depan tidak harus mengorbankan hutan untuk pertumbuhan, tapi bisa dibangun dari hutan yang tetap hidup.

Forum REDD+ bukan garis akhir, tapi awal dari babak baru. Tantangan ke depan justru lebih berat: memastikan bahwa suara masyarakat adat didengar dalam perencanaan, bahwa pendanaan tidak berhenti di meja birokrasi, bahwa proyek karbon memberi manfaat bagi koperasi desa dan generasi muda yang ingin mengolah tanah tanpa membakar.

Dunia telah mendengar langkah pertama. Langkah yang tenang, tidak gemerlap, tapi cukup jelas untuk memberi sinyal bahwa perubahan bisa datang dari wilayah yang dulu dianggap sebagai sumber masalah.

“Dan mungkin di situlah harapan bisa tumbuh: bahwa tanah yang pernah terbakar masih bisa melahirkan arah baru ketika pemimpin memilih berjalan dengan kehati-hatian, bukan dengan tepuk tangan,” tutupnya.

Baca selengkapnya di halaman berikut…