Pengangkatan Kapolda dan Kajati di Aceh mungkin sedikit berbeda dengan daerah lain. Untuk menjadi pemimpin dua lembaga tersebut, ada satu syarat harus dipenuhi: persetujuan gubernur.
Dirangkum infoSumut, Senin (22/9/2025), aturan tentang pengangkatan Kapolda dan Kejati itu diatur dalam perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia yang diteken di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Poin 1.4.4 butir-butir MoU Helsinki berbunyi:
“Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku,” bunyi poin tersebut.
Aturan lebih rinci kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Peraturan tentang dua lembaga itu diatur dalam bab berbeda meski isinya hampir sama.
Dalam aturan itu disebutkan, gubernur Aceh dapat menolak nama yang diajukan menjadi kapolda maupun kajati. Bila namanya ditolak, maka Mabes Polri maupun Jaksa Agung harus mengajukan nama lain satu kali.
Berikut isi lengkap bab tentang kepolisian dan kejaksaan dalam UU Pemerintah Aceh:
Pasal 205
Pasal 206
Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan keamanan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengangkat pejabat sementara Kepala Kepolisian di Aceh sambil menunggu persetujuan Gubernur.
Pasal 209
Pasal 210
Seleksi dan penempatan jaksa di Aceh dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan memperhatikan ketentuan hukum, syari’at Islam, budaya, dan adat istiadat Aceh.