Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) digugat lima orang mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam gugatan, pemohon meminta agar masyarakat bisa memberhentikan anggota DPR RI.
Gugatan itu didaftarkan lima mahasiswa yang terdiri dari Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Perkara terdaftar dengan nomor 199/PUU-XXIII/2025.
Para mahasiswa tersebut menyampaikan pengujian atas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Mereka turut menguraikan kedudukan hukum yang terkait kerugian hak konstitusional berupa hak politik sebagai warga negara dalam mengawasi jalannya pemerintahan, terutama yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu).
“Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR,” ungkap Ikhsan, seperti dilansir infoEdu dari laman MKRI, dikutip Kamis (20/11/2025).
Pemohon dalam petitumnya meminta MK untuk menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengingat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai diusulkan partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pilihan sesuai aturan undang-undang.
Penggugat menilai dengan berlakunya ketentuan dalam pasal yang diuji itu, maka terjadi pengeksklusifan terhadap parpol untuk memberhentikan anggota DPR. Menurut penggugat, praktik yang berjalan selama ini kerap kali parpol memberhentikan anggota DPR tanpa ada alasan yang jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat. Atau sebaliknya, saat ada anggota DPR yang seharusnya diberhentikan atas permintaan rakyat karena tidak lagi memperoleh legitimasi rakyat, justru dipertahankan oleh parpol.
Peran Rakyat Dinilai Sebatas Prosedural Formal Lewat Pemilu
Mahasiswa pemohon menyampaikan, ketiadaan mekanisme pemberhentian oleh rakyat dalam pasal yang diuji, menjadikan peran rakyat sebagai pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Pasalnya, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak dalam pemilu, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Mahasiswa juga berargumen, rakyat tidak dapat memastikan wakilnya di DPR benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan janji-janji kampanye karena tidak mempunyai lagi daya tawar setelah pemilu.
Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.
Praktik yang muncul karena ketentuan dalam pasal yang diuji itu, dinilai mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang sudah dijamin melalui Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Peran Rakyat Dinilai Sebatas Prosedural Formal Lewat Pemilu
Mahasiswa pemohon menyampaikan, ketiadaan mekanisme pemberhentian oleh rakyat dalam pasal yang diuji, menjadikan peran rakyat sebagai pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Pasalnya, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak dalam pemilu, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Mahasiswa juga berargumen, rakyat tidak dapat memastikan wakilnya di DPR benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menjalankan janji-janji kampanye karena tidak mempunyai lagi daya tawar setelah pemilu.
Praktik yang muncul karena ketentuan dalam pasal yang diuji itu, dinilai mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang sudah dijamin melalui Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
