Tradisi minum kopi di Aceh memiliki akar yang sangat kuat. Tidak mengherankan, mengingat provinsi ini merupakan salah satu penghasil kopi terbaik dunia.
Selain dijuluki sebagai Tanah Rencong, Aceh juga punya julukan Negeri Seribu Warung Kopi. Julukan ini disematkan pada bukan tanpa alasan, sebab hampir di setiap sudut sembilan kecamatan di Banda Aceh dan sekitarnya, berdiri warung kopi yang tak pernah sepi pengunjung.
Murdijati-Gardjito dkk, dalam buku Ragam Minuman Khas Indonesia menjelaskan dataran Gayo, yang dihuni oleh suku Gayo, dikenal sebagai wilayah penghasil kopi arabika berkualitas tinggi. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani kopi.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Sebelum fenomena ‘ngopi’ di era modern jadi trend, beberapa daerah di Indonesia sudah punya tradisi untuk menikmati secangkir kopi. Setidaknya ada sembilan tradisi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Aceh.
Budaya minum kopi di Aceh tak hanya soal minuman, tetapi juga menyangkut kehidupan sosial. Kedai kopi di Aceh berkembang pesat terutama di wilayah pesisir, mengingat posisi strategis daerah ini sebagai jalur perdagangan laut. Inilah mengapa, Aceh dijuluki sebagai Negeri Seribu Warung Kopi.
Di lain sisi, Ibnu Syahri Ramadhan dalam bukunya yang berjudul Racikan Kopi Khas Aceh dan Nilai-nilai Kearifannya, mengutip data Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh per tahun 2023. Tercatat setidaknya 303 kedai kopi di Banda Aceh, itupun diperkirakan masih banyak kedai kopi yang belum terdata.
Budaya ngopi di Aceh, dipercaya memiliki pengaruh dari Kesultanan Ottoman (Turki). Sejak abad ke-16, Aceh diduga telah menjalin hubungan dengan Turki.
Di Istanbul, tempat minum kopi pertama bernama Kiva Han berdiri pada 1475, dan kemungkinan istilah “kafe” yang kita kenal sekarang berasal dari tempat ini. Di Turki, warung kopi umumnya berdiri dekat masjid, dan digunakan sebagai tempat bersosialisasi setelah salat.
Fenomena serupa juga terlihat di Aceh, sebab banyak orang berkumpul di warung kopi selepas salat, mengobrol hingga berjam-jam. Selain itu, pengaruh budaya Tionghoa juga ikut memperkaya tradisi ini.
Kebiasaan masyarakat Tionghoa duduk sambil menikmati minuman dan camilan turut menginspirasi sajian makanan kecil di warung kopi Aceh. Sebab, warung kopi di Turki justru tidak menyediakan makanan kecil seperti di Aceh.
Ada pula pendapat bahwa keberadaan warung kopi di Aceh dipengaruhi oleh Belanda saat masa penjajahan. Konon, Belanda sengaja mendirikan warung kopi agar masyarakat Aceh lebih sibuk dengan aktivitas santai, sehingga lupa memikirkan perlawanan terhadap penjajah.
Meski tak diketahui pasti jejak tradisi ‘ngopi’ di Aceh, namun minum kopi bagi orang Aceh bukan sekadar kebiasaan, melainkan bagian dari gaya hidup dan struktur sosial. Warung kopi menjadi ruang berkumpul lintas kalangan, tempat bertukar kabar, berdiskusi, bahkan bertransaksi.
Banyak orang tua di Aceh pergi ke kedai kopi setelah subuh. Maka kedai kopi tradisional di Aceh banyak yang sudah buka selepas salat Subuh. Di sana, akan banyak ditemui pelanggan warung kopi yang saling bercengkrama hingga langit mulai terang.
Kebiasaan ini sudah melekat sejak dulu kala. Dalam buku Racikan Kopi Khas Aceh dan Nilai-nilai Kearifannya, dijelaskan bagaimana pentingnya tradisi ngopi di warung kopi. Mengutip ucapan pahlawan Aceh, Teuku Umar pernah bicara tentang kebiasaan minum kopi di Aceh:
“Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid.”
Artinya, besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan (mati) syahid. Meski sayangnya, ucapan Teuku Umar kala itu tak terwujud sebab terlebih dahulu wafat diterjang peluru pada 11 Februari 1899 silam.
Hal tersebut mencerminkan bagaimana tradisi ngopi sudah mengakar di Aceh, bahkan sejak jaman peperangan. Saking kentalnya kebiasaan minum kopi di Aceh, ajakan untuk bertemu atau silaturahmi pun dimaknai dengan ajakan “Paja ta jiep kopi?,” atau artinya “Kapan kita ngopi?”.
Ada pula sebuah cerita yang beredar di Aceh, bahwa kebiasaan para pria ngopi di warung kopi ini mengesalkan seorang istri. Alkisah sang istri heran mengapa suaminya menghabiskan waktu berjam-jam untuk meneguk secangkir kopi di warung, padahal istrinya juga menyajikan kopi di rumah. Seolah rasa kopi lebih enak di warung.
Sang istri kemudian membeli bubuk kopi di warung langganan suaminya. Ia meracik sedemikian rupa agar rasanya sama dengan sajian warung tersebut. Namun herannya, setelah dicicipi sang suami, katanya rasa kopi di warung tetap lebih enak. Mungkin bukan rasanya yang membuat spesial, tapi percakapan antar pria yang bisa mengalir saat di warung kopi.
Kebiasaan itu menjadi hal istimewa, sekaligus menjelaskan bahwa tradisi ngopi mengakar kuat di negeri syariat ini. Kedai-kedai kopi menjadi tempat bertemunya orang-orang dari berbagai latar belakang.
Dalam perjalanannya, warung kopi pun menjelma menjadi simpul sosial, budaya, sekaligus ekonomi masyarakat. Tradisi ini telah mendarah daging dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh hingga hari ini.