Bagi sebagian orang, makan pakai tangan mungkin terlihat sederhana, bahkan dianggap kuno. Namun, di balik kebiasaan ini tersimpan nilai budaya dan filosofi yang mendalam.
Tradisi makan dengan tangan bukan sekadar cara menikmati makanan, tetapi juga mencerminkan rasa syukur, kesederhanaan, serta kedekatan manusia dengan alam dan Sang Pencipta. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, makan menggunakan tangan dipercaya dapat memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan rezeki yang diterima.
Selain itu, cara ini juga mengajarkan kesadaran penuh saat makan, sehingga setiap suapan menjadi bentuk penghargaan terhadap nikmat Tuhan. Lebih dari sekadar kebiasaan turun-temurun, makan pakai tangan adalah warisan budaya yang sarat makna.
Mari kita telusuri nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya dan mengapa tradisi ini layak dilestarikan di tengah modernitas.
Chef dan Pakar Gastronomi, Wira Hardiyansyah, mengatakan dalam budaya Jawa, ada istilah ‘muluk’ atau ‘puluk’. Muluk merupakan n cara makan tanpa menggunakan perantara alat makan, seperti sendok dan garpu. Kebiasaan makan ini umumnya menggunakan tangan secara langsung untuk menyuapkan makanan ke dalam mulut.
Makan dianggap memiliki kaitan dengan nilai-nilai spiritual dan lahiriyah. “Makanya sebelum makan, kita disarankan cuci tangan lebih dulu. Ini sama seperti kita beribadah yaitu menyucikan dengan air,” kata Wira dikutip infoFood.
Muluk menekankan penggunaan 5 jari tangan dalam sekali suap. Kelima jari ini bekerja sebagai satu kesatuan dengan gerak dan fungsi yang saling melengkapi. Namun, kebiasaan makan ini tak bisa diterapkan pada makanan berkuah. Biasanya menu yang dinikmati dengan cara muluk adalah makanan tanpa kuah yang dilengkapi sambal.
Konsep menikmati makanan adalah dengan cara menyatukan 5 jari tangan. Wira melanjutkan, “Muluk memiliki dua nilai filosofis, yaitu mengambil makanan secukupnya dan menghargai apa yang sudah diambil dan diangkat ke atas sebagai suatu bentuk ucapan syukur.”
Kebiasaan makan ini juga dianggap sebagai bentuk menghargai makanan yang sudah diambil. Filosofi lainnya, setiap satu suap muluk mengandung ucapan syukur yang disimbolkan dengan posisi tangan yang menengadah ke atas.
Tak hanya dalam budaya Jawa, ajaran makan pakai tangan juga tercatat dalam kitab Ayurveda yaitu kitab pengobatan tertua asal India. Ajaran ini mengatakan kalau tubuh manusia selaras dengan 5 elemen alam dan setiap jari tangan adalah perpanjangan dari salah satu dari lima elemen itu.
Wira menjelaskan, “Jempol sebagai perpanjangan ruang, telunjuk sebagai perpanjangan udara, jari tengah sebagai perpanjangan api, jari manis sebagai perpanjangan air, dan kelingking sebagai perpanjangan bumi.”
Jadi, saat makan dengan tangan, seseorang berarti menyatukan semua elemen alam dan membawa kesadaran pada tekstur, rasa, aroma, dan suhu makanan. “Dengan itu, kita menciptakan hubungan fisik dan spiritual dengan makanan. Kekayaan budaya Indonesia tak hanya terbatas pada tradisi, tarian, alat musik, maupun upacara adatnya, tapi juga berupa kebiasaan makan dengan tangan,” tutup Wira.
Konsep menikmati makanan adalah dengan cara menyatukan 5 jari tangan. Wira melanjutkan, “Muluk memiliki dua nilai filosofis, yaitu mengambil makanan secukupnya dan menghargai apa yang sudah diambil dan diangkat ke atas sebagai suatu bentuk ucapan syukur.”
Kebiasaan makan ini juga dianggap sebagai bentuk menghargai makanan yang sudah diambil. Filosofi lainnya, setiap satu suap muluk mengandung ucapan syukur yang disimbolkan dengan posisi tangan yang menengadah ke atas.
Tak hanya dalam budaya Jawa, ajaran makan pakai tangan juga tercatat dalam kitab Ayurveda yaitu kitab pengobatan tertua asal India. Ajaran ini mengatakan kalau tubuh manusia selaras dengan 5 elemen alam dan setiap jari tangan adalah perpanjangan dari salah satu dari lima elemen itu.
Wira menjelaskan, “Jempol sebagai perpanjangan ruang, telunjuk sebagai perpanjangan udara, jari tengah sebagai perpanjangan api, jari manis sebagai perpanjangan air, dan kelingking sebagai perpanjangan bumi.”
Jadi, saat makan dengan tangan, seseorang berarti menyatukan semua elemen alam dan membawa kesadaran pada tekstur, rasa, aroma, dan suhu makanan. “Dengan itu, kita menciptakan hubungan fisik dan spiritual dengan makanan. Kekayaan budaya Indonesia tak hanya terbatas pada tradisi, tarian, alat musik, maupun upacara adatnya, tapi juga berupa kebiasaan makan dengan tangan,” tutup Wira.