Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan adanya skema pembagian risiko (co-payment) minimal 10% dari total klaim yang diajukan oleh pemegang polis asuransi kesehatan. Ketentuan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Ogi Prastomiyono, selaku Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, menjelaskan bahwa aturan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2026 bagi nasabah baru. Sementara bagi pemegang polis lama, diberi masa transisi hingga akhir tahun, tepatnya 31 Desember 2026.
“Jadi tidak otomatis itu diubah, tapi tetap karena perjanjian sudah dibuat dan berakhir ketentuan itu pada saat pertanggungan itu berakhir dengan catatan maksimum 31 Desember 2026,” kata Ogi dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Senayan, Jakarta, dilansir infoFinance, Selasa (1/7/2025).
Ia menambahkan bahwa ketentuan co-payment ini hanya berlaku untuk asuransi kesehatan swasta dan tidak mencakup program BPJS Kesehatan. Model pembagian biaya seperti ini sebenarnya sudah lazim digunakan di berbagai negara sebagai upaya untuk menurunkan besaran premi.
OJK juga telah meminta perusahaan asuransi melakukan simulasi perbandingan antara premi tanpa dan dengan skema co-payment. Hasilnya, premi dengan skema co-payment cenderung lebih terjangkau.
Dalam skema ini, peserta akan menanggung maksimal Rp 300 ribu untuk setiap klaim rawat jalan dan Rp 3 juta untuk setiap klaim rawat inap. Namun, perusahaan asuransi diperbolehkan menetapkan angka yang lebih tinggi jika disepakati dalam polis.
Kebijakan ini diharapkan mampu menekan laju inflasi medis yang saat ini hampir dua kali lipat dari rata-rata global. Pada 2024, inflasi medis Indonesia tercatat sebesar 10,1% dan diperkirakan meningkat menjadi 13,6% di tahun 2025. Kenaikan biaya layanan kesehatan dan obat-obatan menjadi penyebab utamanya.
Menurut Ogi, sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan sudah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Thailand pun mulai mengikuti langkah tersebut sejak Maret 2025.
“Intinya bahwa pertanggungan itu ada di tanggung bersama, ada deductible atau namanya biaya tanggungan sendiri dari peserta itu yang nilainya tertentu. Jadi ini merupakan suatu practices yang sudah umum sebenarnya, tinggal bagaimana kita mensosialisasikan lebih baik kepada peserta,” kata Ogi.
Dari sisi perlindungan konsumen, Ogi menekankan bahwa penyesuaian atau kenaikan premi (repricing) hanya bisa dilakukan saat masa perpanjangan polis. Artinya, perusahaan tidak boleh mengubah besaran premi di tengah masa pertanggungan kecuali disetujui oleh pemegang polis.
Ia menambahkan bahwa aturan ini juga mengatur soal ketentuan transisi, di mana produk asuransi yang sudah berjalan tetap berlaku sampai masa kontraknya selesai.
“Dengan catatan itu, rata-rata itu memang tahunan untuk review asuransinya dan kita di SEOJK ini masih memberikan kesempatan sampai dengan 31 Desember 2026. Kemudian untuk produk baru, kalau ada produk asuransi baru itu mulai berlaku 1 Januari 2026,” jelas Ogi.