Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Di lantai dua Museum Negeri Sumatera Utara, sebuah etalase kaca menyimpan lembaran kertas kusam yang mulai dimakan usia. Bagi mata awam, ini mungkin hanya koleksi uang kuno biasa.
Namun, bagi Dr. Budi Agustono, pakar sejarah dari Universitas Sumatera Utara (USU), lembaran itu adalah saksi bisu ‘perang urat syaraf’ paling nekat dalam sejarah kedaulatan Indonesia di tanah Sumatra.
Uang tersebut dikenal sebagai ORIPS (Oeang Republik Indonesia Propinsi Soematera) dan URIPS. Di balik fisiknya yang sederhana, tersimpan kisah heroik tentang bagaimana selembar kertas mampu meruntuhkan dominasi ekonomi Belanda (NICA).
Perjalanan sejarah uang ini bermula dari kekosongan mata uang setelah proklamasi Agustus 1945. Selama satu tahun penuh, masyarakat di Sumatra mengalami kebingungan karena tiga mata uang berlaku bersamaan: uang kolonial Belanda, uang Jepang, dan uang invasi.
Kondisi ini memicu ketakutan sosial yang luar biasa. “Masyarakat mengalami kebingungan atau ketakutan. Jika memakai uang kolonial, khawatir dituduh mata-mata Belanda. Sebaliknya, kalau menggunakan uang Republik, dituduh tidak menyokong Belanda,” ungkap Dr. Budi Agustono.
Barulah pada Oktober 1946, Uang Republik Indonesia (ORI) resmi terbit secara nasional untuk memperkuat kedaulatan. Namun, karena kebutuhan mendesak dan aspirasi daerah, muncul inisiatif dari tokoh-tokoh seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Bung Hatta untuk mencetak uang darurat di daerah-daerah.
Karena Medan sedang diduduki oleh NICA, pusat percetakan dan pemerintahan digeser ke daerah yang lebih aman. Di sinilah uang darurat mulai diproduksi massal oleh otoritas lokal sebagai instrumen perlawanan:
• Pematang Siantar: Menjadi pusat penerbitan ORIPS untuk wilayah Sumatra Utara.
• Bukittinggi: Menjadi lokasi penerbitan URIPS sebagai pusat kedaulatan di Sumatra.
• Aceh: Mencetak uang dengan nominal hingga 5 Rupiah pada tahun 1948 yang ditandatangani oleh Residen.
Dr. Budi menekankan bahwa nilai tertinggi uang ini bukan pada fisiknya, melainkan pada tanda tangan pemimpin dari ‘rahim’ Indonesia sendiri, seperti Gubernur Muhammad Hasan. “Kertas menjadi arena pertarungan martabat bangsa. Ini menunjukkan semangat anti-kolonial yang sangat tinggi,” tegasnya.
Lebih dari sekadar alat belanja, uang darurat ini juga menjadi ‘alat diplomasi’ untuk mendapatkan barang-barang dari luar negeri seperti Singapura dan Semenanjung Melayu guna menyokong napas perjuangan di tanah air. Rakyat sangat patriotik menggunakan uang baru ini dan tidak lagi takut menolak uang kolonial.
Menutup narasinya, Budi berpesan agar generasi muda (Gen Z) tidak melihat uang kuno ini sebagai benda mati. Perjalanan sejarah uang Republik ini adalah bukti bahwa negara ini dibangun lewat nasionalisme yang sangat tinggi, bukan sekadar pemberian.
“Gen Z perlulah mendatangi museum. Lihatlah perjalanan sejarah lewat pecahan uang ini agar mengerti bahwa kedaulatan kita pernah diperjuangkan lewat selembar kertas di tengah kekacauan ekonomi dan politik masa itu,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis A. Fahri Perdana Lubis, peserta program Maganghub Kemnaker di infocom.
